KOMPAS.com - Wibby Setya Permana (24), warga Desa Srimulya, Piyungan, Bantul terpaksa menggunakan paspor untuk membeli tiket kereta api.
"Saya ke Klaten naik Prameks, beli tiketnya harus pakai paspor. Saya sudah seperti orang asing di negeri sendiri," keluh Wiby, Rabu (30/10/2019).
Dilansir dari Tribunnews.com, selain kesulitan mengakses tiket kereta api, Wibby juga mengaku kesulitan saat mengurus pembuatan akun di bank.
Padahal dia sudah memiliki surat keterangan (suket) yang dikeluarkan resmi Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Bantul.
Baca juga: Emil Ingin Warga Muslim Jabar Bukan Cuma Islam KTP
Namun Wibby bercerita bahwa suket tidak bisa mengakses sistem layanan berbasis digital seperti pada KTP elektronok.
Menurutnya di KTP eleketronik memiliki chip Radio Frequency Identification (RFID) yaitu teknologi pengiriman informasi singkat melalui gelombang radio.
Dalam chip itu tertera informasi pemiliknya. Akses tersebut tidak bisa digunakan jika menggunakan suket.
"Saya merasa hak keadilan saya terenggut. Ini melanggar pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," kata dia.
Baca juga: Pemkot Tangsel Butuh Rp 3 Miliar jika Ingin Cetak Sendiri Blangko E-KTP
Ia menyebut dengan istilah KTP elektronik bodong.
Wibby kemudian mengembalikan KTP miliknya ke Disdukcapil agar data bisa diganti.
Namun setelah pengajuan, Wibby malah disarankan untuk menggunakan suket dengan masa aktif enam bulan.
Baca juga: Wali Kota Gemas, 70.000 Warga Bekasi Masih Pakai Suket Gara-gara Blanko E-KTP Langka
"Boleh diganti enam bulan sekali," katanya.
Wibby mengatakan penggunaan suket tidak efektif karena bentuknya lembaran kertas.
Selain itu suket mudah rusak, apalagi ketika musim hujan. Karena terus dilipat dalam dompet, suket mudah sobek. Bahkan belum sebulan digunakan, suket milik Wiby sudah sobek.