Meski tanpa standar pengamanan yang memadai, setiap kali lomba pacuan kuda berlangsung, ratusan joki cilik ikut dari sejumlah daerah di NTB.
"Di masing-masing daerah seperti dari Bima, Dompu, Sumbawa sekitar 30 orang," tambah Fauzi.
Kebiasaan ini tak bisa dibendung. "Joki cilik ini memang turun temurun sejak nenek moyang kita dulu hobi kuda, joki cilik ini sudah menjadi tradisional budaya masyarakat Bima pada umumnya," kata Fauzi.
Baca juga: Polisi Tetapkan Tiga Tersangka Kasus Pembuangan Jasad Bayi di NTB
Namun, budayawan dari Bima, NTB, Alan Malingi punya catatan khusus tentang sejarah joki cilik penunggang kuda di daerahnya.
Menurut Alan, pacuan kuda digelar dalam rangka merayakan ulang tahun Ratu Belanda Wilhelmina pada 1927 pada era Kesultanan Bima yang telah dipersiapkan dua tahun sebelumnya.
"Pada awalnya pacuan kuda tradisional di Bima ini tidak menggunakan joki cilik, jokinya adalah remaja dan dewasa. Namun pada perkembangannya joki cilik ini mulai digunakan sejak tahun 1970an," kata Alan.
Menjadikan bocah sebagai penunggang pacuan kuda, dalam pandangannya, merupakan eksploitasi anak atas nama tradisi di NTB.
Baca juga: Unik, Demo di DPRD NTB, Mahasiswa Berdandan seperti Joker
Dia menuturkan, setiap kali pacuan terdapat 700 kuda yang berlaga dengan joki sebanyak 15 anak. Artinya seorang joki cilik bisa menunggang 40-50 kuda dalam setiap perlombaan sejak pagi hingga sore.
"Dan kejadian kemarin (Sabila), kecelakaan di pacuan kuda terjadi pada sore hari, pukul lima sore. Berarti anak ini sudah menunggang beberapa kuda," kata Alan.
Apalagi, selama musim pacuan, mereka tidak bersekolah.
"Karena memang ada bayaran dalam setiap arena pacuan kuda untuk joki ini, terpaksa anak-anak ini meninggalkan sekolah, untuk mencari uang," lanjut Alan.
Baca juga: Seluruh Pengungsi Asal NTB di Wamena Dipulangkan ke Kampung Halaman
Salah satu anggota koalisi, Joko Jumadi, menilai tradisi ini bukan hanya bersifat eksploitatif, tapi juga mengorbankan masa depan anak-anak.
"Yang menjadi catatan adalah banyak anak-anak yang kemudian menjadi cacat karena menjadi joki anak karena terjatuh, karena standar keamanannya rendah," kata Joko kepada BBC News Indonesia.
Pacuan kuda dengan joki anak di NTB, menurut pengamatan Joko, berbeda dengan lomba serupa di luar negeri.