Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Warga Gempa Porak-porandakan Desa, Bumi Bergoyang Muntahkan Lumpur, hingga Derita di Pengungsian

Kompas.com - 24/10/2019, 21:50 WIB
Rahmat Rahman Patty,
Robertus Belarminus

Tim Redaksi


AMBON, KOMPAS.com - Warga di Desa Liang, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah yang saat ini mengungsi di hutan-hutan dan perbukitan desa tersebut masih ingat betul detik-detik saat gempa bumi bermagnitudo 6,8 mengguncang desa mereka.

Warga tidak pernah mengira, jika Kamis pagi yang cerah pada 26 September 2019 lalu itu akan berubah menjadi petaka hingga seluruh warga desa menumpahkan air mata.

Gempa yang sangat kuat dirasakan itu pun dalam sekejap memporak-porandakan rumah-rumah warga.

Dalam suasana panik, warga langsung memilih melarikan diri ke hutan-hutan dan perbukitan untuk menyelamatkan diri.

Namun, usaha warga saat itu tidaklah mudah, karena mereka harus berusaha menghindari muntahan lumpur di banyak tempat yang tersebar di desa itu.

Baca juga: Trauma Gempa Ambon, Warga Memilih Dirawat di Halaman Rumah Sakit

“Saat itu semua baik-baik saja, tidak ada tanda apa-apa, tiba-tiba terjadi guncangan yang kuat sekitar jam 9 pagi,” kata Maryam Samual, di perbukitan Rahaban, Desa Liang, Kamis (24/10/2019).

Pagi itu, dia bersama ibunya, Halima Pary (73), sedang berada di dapur, sedangkan anggota keluarganya yang lain sedang berada di halaman rumah.

Seperti hari-hari biasanya, pagi itu dia harus menyiapkan sarapan pagi untuk ibunya.

Namun, gempa yang sangat kuat tiba-tiba mengguncang desanya hingga membuat rumah tempat tinggal Maryam dan keluarganya roboh seketika.

Disaat kondisi yang sangat kritis itu, Maryam lalu menghampiri dan memeluk ibunya sambil berusaha keluar dari dalam dapur rumah mereka.

“Ibu saya hanya bisa menangis dan mengucapkan kalimat lailaha illallah, saya langsung memeluknya dan berusaha keluar dari dalam dapur,” kata dia.

Kehilangan keluarga    

Takdir Tuhan tak dapat dihindari dan juga ditolak oleh siapapun.

Setelah berhasil keluar dari rumahnya, tiba-tiba saja, puing bangunan di dapur rumah itu ambruk dan seketika menimpa Maryam dan juga ibunya hingga keduanya terjatuh.

Maryam sendiri saat itu terluka di bagian pundak hingga sekujur tubuh termasuk juga kaki dan pahanya ikut membengkak. Saat itu, dia tidak tahu lagi nasib ibunya yang juga tertimpa reruntuhan bangunan.

Sejumlah kerabatnya lalu datang memberi pertolongan dan segera membawanya bersama ibunya ke lokasi ketinggian.

Setelah itu, Maryam yang dalam kondisi terluka parah lalu dibawa ke rumah sakit di Kota Ambon.

“Saya tidak tahu kondisi ibu saya saat itu, saya hanya mendoakan agar beliau tidak apa-apa ternyata beliau meninggal dunia,” kata Maryam.

Menurut Maryam, saat itu pihak keluarga menginginkan agar jasad ibunya dimakamkan berdekatan dengan makam suami almarhumah, namun karena kondisi tidak memungkinkan ibunya terpaksa dimakamkan di lokasi pengungsian.

Keluarga pun ikhlas dengan kepergian Halima Pary meski saat dikafani, jasad almarhumah hanya dibalut dengan kain putih dari masjid.

Baca juga: Gempa Ambon, Satu Warga Tewas Tertimpa Reruntuhan Bangunan

Keluarga menganggap apa yang menimpa almarhumah merupakan musibah sekaligus cobaan yang harus diterima dengan penuh lapang dada.

“Karena kondisinya darurat, penghulu masjid juga juga tidak berani memakamkan jasad mama di perkampungan, tidak ada yang berani gali kubur karena masih takut gempa susulan terus terjadi, tapi kami semua iklhas dengan kepergian mama,” ungkap Maryam.

Selain keluarga Maryam, nasib serupa juga dialami La Rony, warga Dusun Waisulung, Desa Liang, Kecamatan Salahutu, saat gempa terjadi.

Ayahnya La Nai, yang saat itu sedang tidur meninggal dunia setelah tertimpa bangunan rumahnya yang roboh.

Menurut Rony, saat gempa terjadi dia sedang berada di kebunnya. Saat itu juga dia langsung kembali ke perkampungan dan melihat banyak rumah yang telah roboh di dusun itu.

Tubuhnya pun bergetar, air matanya tumpah manakala dia menyaksikan rumahnya telah menjadi puing-puing dan mendapati sosok ayahnya telah tertimbun material bangunan.

Rony saat itu langsung berusaha untuk mengangkat puing bangunan yang menutupi sebagian jasad ayahnya.

Namun, dia tidak mampu melakukannya sendirian, dalam kondisi itu dia hanya dapat menatap wajah ayahnya yang telah pergi meninggalkannya.

“Saya bingung karena semua orang lari menyelamatkan diri, saya tidak bisa mengangkat puing bangunan yang menutupi jasad ayah saya dan saya hanya bisa memandangnya,” kata Rony.

Dia mengatakan, setelah menunggu sekitar 30 menit lamanya, sejumlah warga lainnya akhirnya mendatangi dusun dan kemudian membantunya untuk memindahkan puing bangunan yang menutupi jasad ayahnya.

Selain kehilangan sang ayah, Rony mengaku salah satu kerabatnya juga meninggal dunia karena tertimpa reruntuhan bangunan saat gempa mengguncang dusun tersebut.

“Jadi di sini ada dua orang yang meninggal dunia, ayah saya dan juga satu keluarga saya,” ujar dia.

Semburan lumpur

Dampak gempa di Desa Liang, tercatat yang paling terparah jika dibandingkan dengan desa-desa lain di Maluku.

Selain menimbulkan jatuh korban jiwa dan luka-luka serta menghangcurkan ratusan rumah warga, gempa yang terjadi di desa itu ikut menyebabkan semburan lumpur terjadi di beberapa tempat.

Warga menjadi panik setelah munculnya semburan lumpur di banyak lokasi. Banyak dari mereka berusaha menyelamatkan diri.

Apu, salah seorang warga Liang mengungkapkan, saat kejadian itu dia langsung membayangkan jika gempa yang terjadi akan disertai dengan tsunami.

Sebab, ia sempat mendengar suara gemuruh yang sangat kuat dari arah laut sebelum gempa merobohkan rumah-rumah warga dan menyemburkan lumpur di mana-mana.

Baca juga: Kisah Pengungsi Gempa Ambon, Takut Kembali ke Rumah hingga Tinggal Terpencar di Gunung

“Ada suara gemuruh yang sangat kuat, tiba-tiba gempa. Saya terpisah dari keluarga, masing-masing lari sendiri-sendiri,” kata dia.

Kondisi kepanikan warga yang terjadi saat itu sangatlah parah, hingga banyak orangtua dan anaknya terpisah, banyak warga yang berlari sambil menangis di jalan-jalan.

“Saya ceritakan kejadian ini saja, saya sampai trauma, jujur saja saya trauma kalau ingat kejadian itu,” kata dia.

Pengungsian  

Menjelang sebulan setelah gempa berlalu, ribuan warga di Desa Liang masih bertahan di lokasi-lokasi pengungsian yang tersebar di desa tersebut.

Mereka tinggal di tenda-tenda darurat dalam kondisi sangat memprihatinkan.

Kompas.com mendagangi sejumlah tenda pengungsian dan melihat langsung kondisi para pengungsi yang di desa tersebut.

Mereka yang rumah-rumahnya rusak, hanya tinggal di tenda darurat yang mereka dirikan sendiri sejak hari pertama mengungsi.

Kondisi sejumlah tenda pun sudah tak layak digunakan, bahkan terpal yang digunakan warga untuk berlindung tampak banyak yang sudah sobek sehingga pengungsi terpaksa menutupnya dengan lakban.

“Itu terpalnya sudah sobek, kalau hujan pasti basah,” kata Ani, salah seorang pengungsi.

Ani menceritakan, kondisi mereka di hari-hari pertama di pengungsian sangatlah sulit saat itu, mereka harus tidur tanpa tenda di hutan-hutan, tanpa air bersih, dan juga tanpa bahan makanan yang cukup.

Setiap hari, tangisan bayi dan anak-anak karena lapar pecah di mana-mana, dan di saat hujan turun mereka tidak bisa tidur karena kebasahan.

“Kalau hari-hari pertama itu kami susah sekali di sini, semua tidak ada karena kami lari dengan pakaian di badan,” ujar dia.

Saat ini, kata dia, banyak bantuan terus berdatangan kepada para pengungsi di desanya. Dia pun sangat bersyukur karena pemerintah juga para relawan terus menyuplai kebutuhan para pengungsi di desa tersebut.

Namun, yang disayangkan bantuan yang sangat dibutuhkan seperti tenda dan terpal tidak juga ia terima sampai saat ini.

“Kami belum dapat bantuan terpal dan tenda, yang ini kami pakai punya kami sendiri, jadi sampai saat ini belum dapat itu,” ujar dia.

Sejumlah pengungsi lain yang tidak memperoleh tenda bahkan harus menggunakan baliho untuk membuat tenda tepat tinggal.

Saat panas terik, mereka harus keluar dari dalam tenda karena tak bisa menahan hawa panas.

Begitupun saat malam tiba, cuaca sangat dingin hingga mereka terkadang harus membakar api unggun di lokasi pengungsian.

Sejumlah warga terpaksa mengambil seng dari rumah-rumah mereka yang hancur untuk menggantikan terpal yang rusak.

“Kami berharap pemerintah bisa segera membangun rumah-rumah kami yang hancur agar kami tidak terus menerus berada dalam kondisi seperti ini,” kata Saadiah.

Terkait kondisi pengungsi gempa saat ini, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Maluku, Farida Salampessy menyebut, penyaluran bantuan kepada para pengungsi terus dilakukan di lokasi-lokasi pengungsian.

Selain kebutuhan pokok dan kebutuhan lainnya, pemerintah bersama sejumlah lembaga sosial dan relawan juga telah membangun fasilitas mandi cuci kakus (MCK) termasuk menyalurkan kebutuhan air bersih ke lokasi-lokasi pengungsian.

Farida mengatakan, untuk proses perbaikan rumah-rumah warga yang rusak akibat gempa, hingga saat ini, tim di lapangan masih terus melakukan verifikasi dan juga validasi agar data yang disampaikan ke pemerintah pusat nanti benar-benar valid.

Baca juga: Gempa Ambon: 135.875 Orang Mengungsi, 6.795 Rumah Rusak

“Sampai hari ini verifikasi dan validasi data rumah-rumah warga yang rusak masih terus dilakukan karena perubahan terus terjadi,” kata Farida.

Dia mengatakan, setelah verifikasi dan validasi data dilakukan, pihaknya langsung akan mengirimkan ke BNPB di Jakarta untuk segera ditindaklanjuti.

Pihaknya terus bekerja di lapangan untuk mempercepat proses verifikasi data rumah-rumah warga yang rusak.

“Kami inginnya cepat agar warga segera mendapatkan hak-hak mereka, kami juga tidak ingin mereka hidup berlama-lama di tenda-tenda darurat seperti itu,” kata dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com