Lokasi yang lumayan kering dengan tetumbuhan pohon sengon, ladang-ladang tembakau milik penduduk lokal, disamping beberapa ekor kera yang sesekali memperlihatkan diri, membuat penulis pada waktu mengobservasi lokasi memberi impresi tersendiri.
Tempat wisata baru ini, dilengkapi dengan gua kuno bersebelahan dengan makam tua dengan mata air tak pernah kering di sebelahnya, menyajikan kontur tanah yang menantang naik dan turun.
Tentu saja, para pengunjung jika ingin menuruni bukit, merasakan sejuknya mata air, mesti berhati-hati, jurang menanti di sisi kiri.
Dongeng setempat, secara unik mempertemukan akulturasi corak etnik Jawa-Madura membawa cerita tentang Gua Mustajab, yang membawa keberkahan tertentu jika para pengunjung merajut harap, keberuntungan atas rezeki atau permintaan akan jodoh.
Tradisi lisan kemudian menjadi penting. Ujaran-ujaran yang khas etnik Madura menjadi narasi utama, bagaimana seni memberi penanda di sana dalam memori kolektif.
Seniman cum ilmuwan memulai dengan pertanyaan-pertanyaan. Apakah legenda, sebuah kejadian yang benar-benar nyata, di masa lalu, yang kemudian dibumbui ulang beragam kisah, seterusnya bertransformasi menjadi mitos berperan dalam konteks seni lingkungan?
Semua itu kemudian membentuk segugus bidang- bidang imajinasi dan riil berupa ruang yang spesifik dan goresan-goresan cat seniman berbahan air dengan mal, konstruksi bambu seterusnya menjadi panggung terbuka, menjadi ruang yang kompleks dimaknai dan diisi dengan karya seni.
Proyek seni lingkungan ini dimulai, mempertemukan materi berbahan alami, bambu-bambu yang dipotong dan bendera bersimbol tertentu atau lilitan tali-temali yang kemudian mentrasfer harapan-harapan.
Transfer harapan berupa sejumlah pengunjung bertandang ke gua memberi berkah riil: menghidupi manusia, dari mereka yang menjadikan lokasinya destinasi wisata dan yang bekerja di industri di dalamnya.
Orang-orang sederhana yang menggantungkan nafkahnya di lingkungan hutan itu, kampung-kampung bersahaja, menjadikan estetika dan nilai-nilai yang disandangnya yang dikatakan ini seni dan itu bukan seni menjadi kian terpiuh dan menegangkan untuk dicengkeram dalam kuasa estetika dan paradigma tertentu.
Ruang dan simbol tiga seniman
Profesor Subagio, sebagai inisiator yang berpikiran lateral dengan wawasan yang unik, membebaskan para seniman merespons apa pun, yang ada di lokasi.
Demikian halnya, seorang penduduk, seorang wakil sesepuh desa bernama Sugiono mengerahkan pemuda setempat, yang memiliki talenta artistik.