Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Istri Mantan Dandim Kendari Dilaporkan ke Polisi, Kasus Hukum Pertama di Keluarga TNI Terkait UU ITE

Kompas.com - 15/10/2019, 12:14 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Sebanyak tiga anggota TNI dicopot dari jabatannya dan mendapat sanksi kurungan selama 14 hari lantaran istri mereka mengunggah status bernada sinis terhadap insiden penusukan Menkopolhukam Wiranto.

Kasus ini kemudian dipertanyakan aktivis HAM.

Mereka adalah Peltu YNS, anggota POMAU Lanud Muljono Surabaya; Komandan Distrik Militer Kendari, Kolonel HS; dan Sersan Dua Z.

Bukan hanya itu, istri mereka juga diancam dipidanakan dengan Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), terkait dengan ujaran kebencian.

Baca juga: Irma Nasution, Istri Mantan Dandim Kendari yang Dicopot, Dipolisikan Anggota TNI

Menurut Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) XIV Hasanuddin, Maskun Nafiq, Kolonel HS dicopot lantaran melanggar aturan disiplin internal TNI terkait penggunaan media sosial.

"Larangan-larangan itu ditujukan kepada prajurit dan keluarga untuk bijak menggunakan media sosial," kata Maskun seperti dikutip Kompas TV, Senin (14/10/2019).

Menurut catatan Maskun, ini menjadi kasus hukuman pertama di keluarga TNI terkait UU ITE.

"Kita ini tunduk pada kehidupan norma militer," tambahnya tanpa merinci landasan hukuman bagi anggota TNI yang istrinya mengunggah status di media sosial.

Baca juga: Setelah Cuitan Bermasalah Istri Eks Dandim Kendari, Anggota Persit Diberi Pelatihan

Di sisi lain, berdasarkan Undang Undang No. 25/2014 tentang Hukum Disiplin Militer, tidak ada klausul yang menyebutkan hukuman dijatuhkan kepada anggota TNI karena kesalahan anggota keluarganya.

Namun Maskun berdalih, "Ini keterkaitan tentang ketaatan asas. Jadi kan sudah ada imbauan, larangan dari pimpinan, ini masih untuk tidak mengunggah informasi yang bersifat sensitif, yang atau mengecam atau mendeskriditkan kesatuan."

Baca juga: Istri Mantan Dandim Kendari Resmi Dilaporkan, Ini Penjelasan Polisi

 

Kebebasan berpendapat

Kolonel Kav Hendi Suhendi (kiri) menyaksikan Kolonel Inf Alamsyah (kanan) diambil sumpahnya sebagai Komandan Kodim 1417 Kendari saat upacara serah terima jabatan di Aula Tamalaki Korem 143 Haluoleo, Kendari, Sulawesi Tenggara, Sabtu (12/10/2019). Upacara sertijab tersebut dipimpin langsung Komandan Korem 143 Haluoleo Kolonel Inf Yustinus Nono Yulianto dan dihadiri Panglima Komando Daerah Militer (Kodam) XIV Hasanuddin Mayjen TNI Surawahadi. ANTARA FOTO/Jojon/ama.ANTARA FOTO/JOJON Kolonel Kav Hendi Suhendi (kiri) menyaksikan Kolonel Inf Alamsyah (kanan) diambil sumpahnya sebagai Komandan Kodim 1417 Kendari saat upacara serah terima jabatan di Aula Tamalaki Korem 143 Haluoleo, Kendari, Sulawesi Tenggara, Sabtu (12/10/2019). Upacara sertijab tersebut dipimpin langsung Komandan Korem 143 Haluoleo Kolonel Inf Yustinus Nono Yulianto dan dihadiri Panglima Komando Daerah Militer (Kodam) XIV Hasanuddin Mayjen TNI Surawahadi. ANTARA FOTO/Jojon/ama.
Ketua bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), M Isnur, menilai dasar hukum yang digunakan dalam menghukum tiga anggota TNI sangat lemah.

Dia berpendapat hukuman yang diberikan semestinya bertahap mulai dari peringatan dan nasihat bukan langsung dicopot dan ditahan.

Ia pun bertanya-tanya mengapa anggota TNI bisa kena hukum karena kesalahan anggota keluarganya.

Padahal, kata Isnur, keluarga TNI punya kebebasan untuk berpendapat.

"Istri, anak (TNI) mereka punya kebebasan. Mereka tidak terikat Sapta Marga (sumpah prajurit). Mereka person lain di tubuh tentara," katanya kepada wartawan Muhammad Irham yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Senin (14/10/2019).

Baca juga: Usai Sertijab, Istri Mantan Dandim Kendari Menangis, Ini Kata Kolonel Hendi

 

Wajah penegakan hukum lima tahun ke depan?

Polisi memukuli mahasiswa di depan kantor DPRD Sulawesi Selatan, Makassar, Selasa (24/09). Antara/Abriawan Abhe Polisi memukuli mahasiswa di depan kantor DPRD Sulawesi Selatan, Makassar, Selasa (24/09).
Penegakan hukum seperti ini mengemuka beberapa hari menjelang pelantikan Joko Widodo sebagai presiden pada masa jabatan kedua.

Ketua bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), M Isnur, mengkhawatirkan peristiwa seperti itu menjadi salah satu indikator wajah penegakan hukum dalam lima tahun mendatang.

Dia bahkan memproyeksikan penegakan hukum menjadi alat mengkriminalisasi warga.

"Menjadi alat untuk mengkriminalkan warga yang kira-kira tidak mau tunduk, warga yang melawan, warga yang kritis, warga yang mempertahankan ruang-ruang hidupnya," katanya dalam diskusi bertajuk 'Habis Gelap Terbitlah Kelam' di Jakarta, Senin (14/10/2019).

Baca juga: Dicopot dari Jabatan dan Ditahan, Mantan Dandim Kendari: Saya Prajurit TNI yang Setia...

M Isnur memberikan contoh penanganan aksi demonstrasi 23 - 30 September ketika kepolisian dituduh menangkap dan menahan orang tanpa status yang jelas.

Kemudian, lanjut M Isnur, mereka yang dianggap kritis terhadap pemerintah dengan mudah dijerat dengan pasal-pasal karet seperti penghinaan, pencemaran nama baik, dan mengutarakan kebencian seperti termuat dalam UU ITE maupun KUHP.

M Isnur merujuk nasib Dhandy Laksono yang ditetapkan sebagai tersangka, sementara para buzzer pro-pemerintah yang dituduh menebar hoaks justru tidak diproses hukum.

Baca juga: [POPULER NUSANTARA] Istri Hujat Wiranto, Jabatan Kolonel Hendi dan Peltu YNS Dicopot | Istri Mantan Dandim Kendari Menangis

M Isnur memprediksi tren dalam lima tahun mendatang, penegakan hukum akan lebih banyak menyasar kelompok petani dan masyarakat adat. Sebab, kata dia, pemerintahan Presiden Joko Widodo akan menggencarkan pembangunan infrastruktur yang membutuhkan lahan.

Berdasarkan catatan YLBHI dalam dua tahun terakhir terjadi peningkatan laporan kasus. Pada 2017, lembaga ini menerima 2.797 laporan, dan meningkat menjadi 3.455 laporan pada 2018. Sebagian besar laporan kasus masyarakat terkait dengan agraria yang melibatkan perusahaan swasta.

Baca juga: Menilik UU dan Sapta Marga TNI yang Dilanggar di Balik Pencopotan Dandim Kendari


Polri bekerja sesuai fakta hukum

IlustrasiKOMPAS/DIDIE SW Ilustrasi
Sementara itu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat dari Divisi Humas Mabes Polri, Brigjen Dedi Prasetyo, menolak lembaganya dikatakan bekerja secara tidak prosedural dan tebang pilih.

"Polri bekerja sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku," katanya kepada BBC Indonesia, Senin (14/10/2010).

Dia menyarankan agar temuan-temuan pelanggaran yang dilakukan aparat kepolisian dilaporkan ke Propam atau Inspektorat Pengawasan Umum Kepolisian (Irwasum).

Baca juga: Posting Penusukan Wiranto, Irma Nasution, Istri Mantan Dandim Kendari Dipolisikan

"Kalau ada yang keberatan terkait dengan tindakan hukum yang dilakukan kepolisian, kan ada lembaga untuk mengoreksi atau menguji tindakan kepolisian, sidang pra peradilan. Silakan saja," katanya.

Sementara itu, Tenaga Ahli Utama bidang Komunikasi Politik Kantor Staf Presiden (KSP), Ali Mochtar Ngabalin menilai standar proyeksi penegakan hukum YLBHI masih belum jelas.

"Kalau dia (YLBHI) ada standar, agar kita pakai sama-sama menakar," katanya, Senin (14/10/2918).

Baca juga: TNI AU: Istri Peltu YNS Merasa Bersalah dan Janji Tak Ulangi Kesalahan

Ali mengklaim dalam lima tahun ke depan, Pemerintahan Jokowi Jilid II akan mengedepankan penegakan hukum sesuai dengan aturan yang berlaku.

"Presiden punya pengalaman, presiden memahami mana yang bisa beliau lakukan dan mana yang harus beliau tingkatkan. Saya percaya bahwa, Pak Jokowi punya kematangan dalam memberi langkah yang tepat dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat," katanya.

 
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com