Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pernah Berjaya Tahun 1980-an, Perahu Tambangan Mulai Ditinggalkan Warga Samarinda

Kompas.com - 14/10/2019, 22:03 WIB
Zakarias Demon Daton,
Farid Assifa

Tim Redaksi

SAMARINDA, KOMPAS.com - Perahu tambangan atau alat transportasi Sungai Mahakam di Samarinda, Kalimantan Timur, menemui masa senja.

Keberadaannya mulai ditinggalkan dan nyaris punah seiring perkembangan teknologi transportasi.

Perahu kecil ini pernah mengalami masa kejayaan era sebelum 1980-an, karena menjadi satu-satunya alat transportasi sungai di Samarinda.

Maklum, Kota Tepian, sebutan lain Samarinda, berdiri di tengah bentangan banyak sungai.

Tambangan jadi alat penghubung antar Samarinda Seberang dengan Samarinda kota. Alat transportasi penyeberangan ini memiliki panjang 18 meter dengan lebar 2,5 meter. Bahannya terbuat dari kayu ulin dengan kapasitas penumpang 20 orang.

"Hanya Tambangan yang membawa orang-orang melintasi sungai ini tempo dulu," ungkap Sainuddin (54), seorang Motoris Tambangan saat ditemui Kompas.com di Dermaga Pasar Pagi, Samarinda, Minggu (13/10/2019) sore.

Baca juga: BPCB Sarankan 3 Perahu Peninggalan Belanda Segera Diangkat dari Dasar Bengawan Solo

Dari dermaga Pasar Pagi, perahu kecil ini membawa para penumpang menyeberang Sungai Mahakam ke beberapa titik di Samarinda Seberang, yakni Sungai Keledang, Padaelo, Terminal Banjarmasin, Batang Haji, Batang Mukhsin, dan Mangkupalas.

Sainuddin sendiri menjadi motoris sejak 1980-an. Kala itu, tarif per penumpang masih Rp 100. Dalam sehari para motoris membawa pulang uang lumayan dari Rp 20.000 sampai Rp 50.000 setiap hari.

"Kala itu uang segitu nilainya besar sekali," ungkap dia lagi.

Memasuki 1987, Jembatan Mahakam penghubung Samarinda Seberang dan Samarinda Kota diresmikan Presiden Soeharto dan mulai digunakan.

Saat itu, peminat Tambangan mulai menurun. Ditambah terminal Balikpapan yang awalnya di Samarinda Seberang dipindah ke Sungai Kunjang, Samarinda kota.

Jumlah penumpang Tambangan terus mengalami penurunan drastis hingga memasuki era 1990-an seiring masyarakat memiliki kendaraan bermotor.

Pada tahun 2010-an kondisi ini diperparah dengan kehadiran ojek online. Tambangan semakin terlupakan karena orang dengan mudah memesan apa pun, termasuk untuk antar-jemput barang.

Kini dalam sehari, Sainuddin hanya mendapat tiga sampai lima penumpang saja. Setiap penumpang membayar Rp 10.000.

Jika tak ingin menunggu waktu lama, penumpang bisa langsung minta diantar sendiri asal bayar tambah jadi Rp 20.000.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com