Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lokalisasi Sunan Kuning Tutup, Jaminan Praktik Prostitusi Punah?

Kompas.com - 12/10/2019, 15:50 WIB
Riska Farasonalia,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

SEMARANG, KOMPAS.com - Penutupan lokalisasi terbesar di Kota Semarang, Jawa Tengah, Sunan Kuning (SK) yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Semarang kini tinggal menunggu waktu.

Pemkot Semarang bertekad menutup lokalisasi yang terletak di Kelurahan Kalibanteng Kulon, Semarang Barat, ini lantaran ditarget oleh Kementerian Sosial tak ada lokalisasi lagi di Indonesia pada 2019.

Persoalan lokalisasi memang tak bisa dipandang dari satu sudut pandang saja.

Terlebih lagi penutupan lokalisasi akan melahirkan dampak pada berbagai hal, dari dampak ekonomi, psikis, sosial, politik, hingga pajak atau retribusi tempat hiburan malam.

Baca juga: Warga Lokalisasi Sunan Kuning Kecewa Uang yang Dijanjikan Pemkot Semarang Tak Kunjung Diberikan

Direktur LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Semarang Raden Rara Ayu Hermawati Sasongko mengatakan prostitusi adalah salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

"Selain itu, prostitusi juga sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. Dianggap bagian dari perdagangan orang serta bentuk eksploitasi seksual dan ekonomi," ujar Ayu kepada Kompas.com, Sabtu (12/10/2019).

Sejatinya tidak pernah ada perempuan yang sukarela bekerja di industri prostitusi, sistem yang tidak adil dimanfaatkan oleh para pelaku perdagangan dan eksploitasi manusia untuk menjatuhkan mereka ke dalam jurang yang penuh eksploitasi dan kekerasan tersebut.

Baca juga: Prostitusi Online di Karimun, 31 Wanita Akan Dipulangkan ke Daerah Asal

Menurut data LBH Apik Semarang, prostitusi mengakibatkan multiple traumatic bagi perempuan yang dilacurkan.

Di antaranya 71 persen kekerasan fisik, 63 persen pemerkosaan, 89 persen perempuan yang dilacurkan tidak menyukai prostitusi tapi tidak berdaya untuk keluar, 75 persen tidak memiliki rumah dan 68 persen terkena Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).

Selama ini prostitusi dipandang dengan cara pandang patriarki di mana perempuan yang dilacurkan selalu menjadi obyek dan tudingan sumber permasalahan dalam praktik prostitusi.

"Perempuan yang dilacurkan dihukum secara moral sebagai pihak pendosa, bahkan dihukum oleh negara sebagai pelaku tindak pidana, sedangkan laki-laki dianggap wajar melakukan pembelian jasa prostitusi," kata Ayu.

Baca juga: Lokalisasi Sunan Kuning Resmi Ditutup Pemkot Semarang 18 Oktober 2019

Membongkar lokalisasi, menyelesaikan masalah prostitusi? 

Maka dari itu, lanjut Ayu, menutup atau membongkar lokalisasi sebenarnya bukan jaminan praktik prostitusi yang ada di dalamnya otomatis ikut tutup.

"Praktik prostitusi tidak akan punah ketika satu salurannya hanya disumbat. Apalagi jika masalah di hulu tidak dijadikan perhatian," ujar Ayu.

Menurutnya, Indonesia bisa berkaca dari negara-negara Skandinavia yang berhasil mengatasi prostitusi secara efektif, salah satunya Swedia, yakni melalui Undang-Undang Prostitusi Swedia (Sex Purchase Act/Sexkopslagen) yang diperkenalkan sejak 1 Januari 1999.

Baca juga: Kasus Prostitusi Anak di Riau, Korban Disuruh Layani Pria dengan Tarif Rp 200 Ribu

"Di Swedia mulai menutup lokalisasi dengan mengkriminalisasi atau memberikan sanksi hukuman yang berat kepada para pembeli atau konsumen jasa prostitusi sebagai upaya memutus mata rantai prostitusi melalui berbagai program pemulihan dan pemberdayaan," kata Ayu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com