PANGKAL PINANG, KOMPAS.com - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mendeteksi berkurangnya produksi awan dari lautan sehingga menyebabkan kemarau berlangsung lebih lama.
Kepala BMKG Pusat Dwikorita Karnawati mengatakan, gejala perubahan iklim itu telah menjadi perhatian dunia karena tidak hanya muncul di Indonesia tapi juga terjadi di Amerika dan Afrika.
"Laut menjadi lebih dingin sehingga pembentukan awan berkurang dan ini rata-rata terjadi di seluruh dunia," kata Rita, seusai menghadiri Pameran Pengurangan Risiko Bencana (PPRB) 2019 di Pangkal Pinang, Kepulauan Bangka Belitung, Jumat (11/102019).
Baca juga: Kualitas Udara di Kabupaten Semarang Dikeluhkan Menurun Akibat Polusi dan Kemarau
Dia menuturkan, imbas berkurangnya awan, cuaca menjadi panas dan curah hujan sedikit.
Awan yang selama ini menjadi tabir pelindung tak ada lagi sehingga cahaya matahari langsung ke permukaan bumi.
"Sejak Juli, suhu di berbagai daerah di Indonesia tercatat di atas 30. Bahkan Jakarta sampai 34. Kondisi panas ini menyebabkan kekeringan lebih lama," kata Rita.
Kemarau selama Juli 2019, kata Rita, menjadi yang terburuk sejak seratus tahun terakhir.
Perubahan iklim itu disebabkan banyak faktor. Termasuk di antaranya efek rumah kaca dan berkurangnya pepohonan hijau.
Baca juga: Warga Setu, Tangsel, yang Terdampak Kemarau Dapat Bantuan Air Bersih
"Dalam pertemuan BMKG seluruh dunia ini sudah diketahui. Pemerintah juga sudah tahu dan upayanya kolaborasi semua pihak. Salah satunya tanam pohon dan penghijauan," ujar dia.
Hingga Oktober ini, belum bisa dipastikan musim kering berakhir penuh. Minimnya pembentukan awan sejak beberapa bulan terakhir terjadi sampai saat ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.