Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pesan Siaga Bencana di Indonesia, Kisah Nyi Roro Kidul hingga Syair Kuno Macapat dan Kayori

Kompas.com - 09/10/2019, 10:22 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Sejak 1989 PBB telah mempromosikan budaya pengurangan risiko bencana di tingkat global sehingga setiap tanggal 13 Oktober diperingati sebagai hari internasional untuk pengurangan risiko bencana.

Budaya pengurangan risiko bencana itu, menurut peneliti tsunami purba dari LIPI, Eko Yulianto, sudah lama diterapkan masyarakat Indonesia dalam wujud cerita dan legenda.

Kearifan lokal ini bisa digunakan untuk membangun kesadaran masyarakat masa kini terkait risiko bencana, kata peneliti tsunami purba Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Eko Yulianto.

Baca juga: Wagub Uu: Hadapi Bencana Alam, Warga Tak Cukup Dibekali Ilmu Saja

Yogyakarta, Palu, dan Banten adalah tiga daerah yang pernah mengalami gempa bumi, tsunami, hingga likuefaksi beberapa tahun belakangan.

Ribuan orang tewas akibat bencana-bencana itu, walau kearifan lokal setempat telah menunjukkan bencana serupa pernah terjadi di masa lampau.

Berikut sejumlah kearifan lokal di berbagai daerah di Indonesia:


Yogyakarta : Kisah Nyi Roro Kidul dan Tembang Macapat

Masyarakat di sekitar Jawa melakukan upacara Labuhan di beberapa titik seperti ke Gunung Lawu , Gunung Merapi, pantai Parangtritis untuk memohon keselamatan.Getty Images Masyarakat di sekitar Jawa melakukan upacara Labuhan di beberapa titik seperti ke Gunung Lawu , Gunung Merapi, pantai Parangtritis untuk memohon keselamatan.
Dikisahkan, Panembahan Senopati, pendiri kerajaan Mataram Islam, mendengar kabar bahwa ia akan diserang oleh pasukan Sultan Hadiwijaya dari Kerjaan Pajang.

Ia dan sang paman pun sepakat mencari bantuan ke penguasa Laut Selatan dan ke penguasa Gunung Merapi, tutur peneliti tsunami purba, Eko Yulianto.

Oleh karena direstui, Gunung Api meletus lalu mengalirkan lahar yang menggagalkan pasukan Sultan Hadiwijaya.

Panembahan Senopati juga mendapat dukungan Nyi Roro Kidul.

Baca juga: Potensi Tsunami Selatan Jawa, Bagaimana Kisah Nyi Roro Kidul Beri Petunjuk Kebenarannya?

Menurut Babad Tanah Jawi, Panembahan Senopati bersemedi sebelum mendirikan kerajaannya. Semedi itu memicu hawa panas yang menyebabkan gelombang besar.

Bagaikan badai yang tak kunjung henti. Semuanya itu seperti sedang menyambut Senopati yang sedang bersamadi. Kangjeng Ratu Kidul sudah mengetahui apa sebab Laut Selatan begitu bertambah dashyat ombaknya seperti diputar saja.

(Terjemahan Babad Tanah Jawa, Cap-capan II, Sadu Budi, Solo, Wirjapanitra)

Penguasa Laut Selatan Nyi Roro Kidul akhirnya menemui Panembahan Senopati untuk memintanya berhenti karena gelombang itu mengganggu rakyatnya.

Ia berjanji kepada Panembahan untuk menolongnya mendirikan kerajaan Mataram Islam.

Baca juga: Mengungkap Jejak Tsunami Purba dalam Mitos Nyi Roro Kidul

Budaya pengurangan risiko bencana itu, menurut peneliti tsunami purba dari LIPI, Eko Yulianto, sudah lama diterapkan masyarakat Indonesia dalam wujud cerita dan legendaGetty Images Budaya pengurangan risiko bencana itu, menurut peneliti tsunami purba dari LIPI, Eko Yulianto, sudah lama diterapkan masyarakat Indonesia dalam wujud cerita dan legenda

Menurut Eko, cerita gelombang itu adalah metafora tsunami raksasa yang pernah terjadi di Selatan Jawa.

"Itu adalah kecerdasan politik Panembahan Senopati dalam mengemas kejadian alam yang benar-benar terjadi untuk mendapatkan legitimasi politik bagi dia sebagai raja baru," ujar Eko.

Eko sendiri pernah menemukan apa yang diyakininya sebagai lapisan tsunami yang terjadi sekitar 400 tahun yang lalu di Selatan Jawa.

Sebelumnya, peneliti tsunami Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT), Widjo Kongko, membuat pemodelan bencana dengan fokus ke daerah Selatan Jawa dan menemukan gempa bermagnitudo 8,8 dan tsunami dengan tinggi 20 meter berpotensi terjadi di daerah itu.

Hingga kini, masyarakat di sekitar Jawa melakukan upacara Labuhan di beberapa titik seperti ke Gunung Lawu , Gunung Merapi, pantai Parangtritis untuk memohon keselamatan.

Baca juga: Ini Jawaban Bupati Purwakarta soal Menikahi Nyi Roro Kidul

 

Pesan waspada bencana dalam tembang macapat

Macapat merupakan puisi bahasa Jawa yang disusun dengan menggunakan aturan tertentu, yakni dalam jumlah baris, suku kata, ataupun bunyi.Getty Images Macapat merupakan puisi bahasa Jawa yang disusun dengan menggunakan aturan tertentu, yakni dalam jumlah baris, suku kata, ataupun bunyi.
Macapat merupakan puisi bahasa Jawa yang disusun dengan menggunakan aturan tertentu, yakni dalam jumlah baris, suku kata, ataupun bunyi.

Sayangnya, tembang ini jarang dipelajari masyarakat karena dianggap kuno, bahkan syirik dan bid'ah.

Mbah Kadi, 71, warga Piyungan, Bantul, DIY, mengaku heran mengapa banyak orang yang sekarang tidak mau belajar tembang-tembang macapat.

Padahal tembang macapat sudah dimodifikasi untuk memuat pesan-pesan siaga bencana.

Baca juga: 13 Tahun Terpisah karena Gempa Yogyakarta, Agustinus dan Juminten Akhirnya Bertemu...

"Banyak tembang macapat yang mengingatkan manusia terkait bahaya erupsi Merapi, gempa, longsor, tsunami, dan bencana-bencana lainnya," ujar Mbak Kadi kepada wartawan Furqon Ulya Himawan untuk BBC News Indonesia.

Mbah Kadi membuka sejumlah catatan yang di dalamnya terdapat Tembang Pangkur yang menerangkan bencana gempa bumi dan cara mitigasi bencana.

Baca juga: 13 Tahun Gempa Yogyakarta, Ini Fakta yang Perlu Diketahui

Bumi geter gawe rusak

Omah rubuh lemah bengkah tsunami

Iku ing aranan Lindu

Mergane ono tiga

Lemah Amblek, Longsor lan Vulkanik Gunung

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pj Gubri Ajak Pemkab Bengkalis Kolaborasi Bangun Jembatan Sungai Pakning-Bengkalis

Pj Gubri Ajak Pemkab Bengkalis Kolaborasi Bangun Jembatan Sungai Pakning-Bengkalis

Regional
Diskominfo Kota Tangerang Raih Penghargaan Perangkat Daerah Paling Inovatif se-Provinsi Banten

Diskominfo Kota Tangerang Raih Penghargaan Perangkat Daerah Paling Inovatif se-Provinsi Banten

Regional
Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Regional
Komunikasi Politik 'Anti-Mainstream' Komeng yang Uhuyy!

Komunikasi Politik "Anti-Mainstream" Komeng yang Uhuyy!

Regional
Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Regional
Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Regional
Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Regional
Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Regional
Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Regional
Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Regional
Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Regional
BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

Regional
Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Regional
Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di 'Night Market Ngarsopuro'

Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di "Night Market Ngarsopuro"

Regional
Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com