Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Pengungsi Gempa Ambon, Takut Kembali ke Rumah hingga Tinggal Terpencar di Gunung

Kompas.com - 07/10/2019, 05:45 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Setidaknya 108.000 orang masih mengungsi lebih dari satu pekan setelah gempa 6,5 skala richter mengguncang Pulau Ambon dan Kabupten Seram Bagian Barat.

Pihak berwenang telah meminta pengungsi kembali ke rumah, tapi mayoritas enggan pulang karena gempa susulan masih berlangsung. Catatan BMKG, sudah 1.017 kali gempa susulan terjadi.

"Katong (kita) masih trauma, belum bisa pulang. Setiap hari goyang terus," ujar Nia Mony, warga Desa Morella di Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah kepada BBC Indonesia, Jumat (4/10/2019).

"Pulang cuma ambil pakaian, tapi balik lagi ke bukit."

Ibu dua anak ini kini mengungsi bersama warga desa lainnya ke bukit. Sebuah terpal besar dijadikan tempat tinggal sementara sampai ia merasa betul-betul aman untuk pulang.

Baca juga: Gempa Ambon: 135.875 Orang Mengungsi, 6.795 Rumah Rusak

"Satu tenda ini beta tinggal dengan tiga keluarga. Total ada sembilan orang," katanya lirih.

Ketika gempa mengguncang pada Kamis (26/9/2019) pagi, ia sedang mencuci pakaian. Tiba-tiba getaran kencang terasa. Dinding dapur dari keramik dan barang pecah belah berjatuhan dan menimpa kakinya.

"Getaran kuat dalam rumah, kan ada tehel dinding terlepas. Ambruk. Bak air macam gelombang, goyang-goyang."

Tapi begitu melihat air pantai surut, dan naik langsung naik, perempuan 42 tahun ini tak lagi pikir panjang. Ia lari sekencang-kencangnya ke bukit bersama anak sulungnya.

"Beta keluar, kebetulan lihat air surut, tiba-tiba naik lagi. Langsung lari," ucapnya.

"Saat itu rasanya paling sedih," ceritanya dengan suara pelan.

Baca juga: 1.105 Gempa Susulan Guncang Maluku hingga Minggu Pagi Ini

Nia Mony, warga Desa Morella di Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, yang terkena dampak gempa. BBC News Indonesia Nia Mony, warga Desa Morella di Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, yang terkena dampak gempa.

Begitu sampai di bukit, Nia ingat anak sulungnya yang berusia 12 tahun dan sedang sekolah. Selama tiga jam, ia mencari-cari sang anak menyisiri bukit dan hutan.

"Di hutan cari anak yang kecil. Jam satu siang baru ketemu anak."

Nia Mony dan keluarga sudah puluhan tahun tinggal di pesisir pantai. Jarak rumah dan bibir pantai sekitar 10 meter. Karena gempa itu, dinding rumahnya rusak, retak di beberapa bagian.

Hingga saat ini, belum ada bantuan dari pemerintah daerah.

Di Dusun Lengkong, Negeri Liang, Kecamatan Salahutu, Maluku Tengah, kondisinya sama. Mama Oci --begitu ia disapa--enggan kembali ke rumah seperti arahan pemerintah.

Baca juga: Pengungsi Gempa Ambon Terserang Berbagai Penyakit, Dinkes Akui Sanitasi Buruk

"Kalau katong masuk (rumah) bagaimana, apakah pemerintah bisa tanggung jawab katong punya nyawa? Kan tidak toh?" ujarnya dengan suara meninggi tanda marah.

Mama Oci, saat ini mengungsi ke gunung. Sebab rumahnya rusak berat. Meski kalau siang hari, sesekali ia menengok. Tapi malamnya, ia kembali ke tenda pengungsian.

"Rumah itu tanahnya terbelah. Paku-paku dinding terbongkar."

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com