Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hadapi Kekeringan, Warga Boyolali Jual Sapi untuk Beli Air Bersih

Kompas.com - 03/10/2019, 22:27 WIB
Labib Zamani,
David Oliver Purba

Tim Redaksi

BOYOLALI, KOMPAS.com - Warga Dukuh Sudimoro, Desa Sangup, Kecamatan Tamansari, Boyolali, Jawa Tengah, terpaksa harus menjual hewan ternak mereka untuk membeli air bersih yang langka karena kemarau panjang.

Kemarau panjang yang melanda Desa Sudimoro sudah terjadi sejak enam bulan terakhir, terhitung Mei 2019.

Selama ini warga lereng Gunung Merapi itu mengandalkan pasokan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari dari embung.

Namun, sejak kemarau panjang melanda, sumber mata air di desa tersebut menyusut sehingga pasokan air bersih yang dialirkan ke rumah warga pun berkurang.

Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari selama musim kemarau, warga Desa Sudimoro harus merogoh kocek untuk membeli air bersih.

Salah satu warga RT 022 Dukuh Sudimoro, Sarni (42) mengaku sudah menjual dua ekor anak sapi perah miliknya untuk membeli kebutuhan air bersih selama musim kemarau.

Satu ekor anak sapi perah ia jual dengan harga antara Rp 5 juta- Rp 6 juta. Menurut dia kalau hanya mengandalkan susu perahnya tidak mencukupi kebutuhan.

"Kalau cuma mengandalkan hasil memerah susu tidak cukup. Jadi harus jual sapi yang masih kecil untuk menambah kebutuhan," ucap Sarni kepada Kompas.com di Boyolali, Jawa Tengah, Kamis (3/10/2019).

Baca juga: Kekeringan di Gunungkidul, Sumber Air Mulai Habis, Anggaran Menipis

Sarni mengatakan, uang dari hasil menjual sapi dia gunakan untuk membeli kebutuhan air bersih dan pakan ternak.

Satu truk tangki air bersih ukuran 6.000 liter harganya antara Rp 280.000 - Rp 300.000.

Satu tangki bisa untuk 10 hari, kadang malah kurang tergantung kebutuhan.

Selain air bersih, Sarni juga harus membeli kebutuhan pakan untuk 11 ekor sapi miliknya. Sehari kebutuhan pakan ternaknya mencapai ratusan ribu.

"Kalau ditotal dalam 10 hari itu pengeluaran mencapai Rp 3 juta. Uang itu untuk membeli air bersih, pakan sapi dan kebutuhan lainnya," ujar Sarni.

Sarni menyampaikan pernah mendapat bantuan air bersih dari pemerintah. Karena tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari, Sarni memilih untuk membeli air bersih sendiri.

Warga lainnya, Sarwo (65) menyampaikan, kemarau tahun ini lebih lama dibanding tahun sebelumnya.

Biasanya masuk Oktober sudah mulai turun hujan. Namun, hingga saat ini belum ada tanda-tanda hujan akan turun.

Menurut Sarwo, warga selama ini mengandalkan pasokan air bersih dari sumber mata air di embung tak jauh dari desa.

Sejak kemarau panjang sumber air menyusut dan pasokan air berkurang.

"Sejak kemarau ini sumber air menyusut. Jadi untuk kebutuhan air bersih beli saya beli. Satu tangki harganya Rp 300.000," ujar dia.

Selain untuk kebutuhan rumah tangga, air bersih yang dia beli juga untuk kebutuhan minum 11 ekor sapi perahnya.

Dalam sehari Sarwo bisa menghabiskan sekitar 25 liter air untuk sapi-sapinya.

"Saya beli air itu sejak puasa. Karena puasa itu sudah tidak turun hujan sampai sekarang," ujar dia.

Baca juga: 15 Kecamatan di Jakarta Berpotensi Alami Kekeringan

Ketua RT 022 Dukuh Sudimoro, Reno Suwiryo menuturkan, sejak kemarau melanda, warga mengandalkan kebutuhan air bersih dengan cara membeli.

Warga di RT 022 ada 37 kepala keluarga (KK) sebagian besar pekerjaannya adalah bertani atau memelihara ternak.

Setiap musim kemarau tiba warga terpaksa menjual sebagian ternaknya untuk membeli kebutuhan air.

"Pasokan air bersih selama ini dari embung. Tapi sejak kemarau embungnya sudah kering sekarang. Tidak ada airnya," kata dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com