Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Perjuangan Disabilitas Perajin Batik, Buta Warna hingga Ditolak Pembeli

Kompas.com - 03/10/2019, 12:21 WIB
Sukoco,
Abba Gabrillin

Tim Redaksi

MAGETAN, KOMPAS.com – Tangan Bey cekatan memainkan setrika untuk merapikan puluhan kain batik berbagai motif di bengkel kerja pembuatan batik Ciprat Langitan di Desa Simbatan, Kabupaten Magetan, Jawa Timur, Rabu (2/10/2019).

Sejak siang hingga sore, Bey mengaku sudah lebih dari 100 lembar batik yang dirapikan  untuk dikemas, karena sejumlah pembeli batik terlihat menunggu sambil memilih hasil karya para disabilitas di Desa Simbatan.

“Sebentar lagi istirahat, dari pagi tadi capek sudah ini. Habis istirahat mau pulang,” ujar Bey sambil menggerakkan punggungnya yang sudah kaku.

Baca juga: Batik Batok Bolu Salatiga, Melawan Mainstream Kota Segitiga Batik

Di sudut lain, Endang terlihat asyik membuat pola gebyok pada selembar kain berwarna kuning.

Cairan lilin yang dipanaskan disampingnya, sedikit demi sedikit diambil dengan menggunakan sejumlah sapu lidi yang diikat.

Cairan itu lalu dihempaskan di kain, sehingga membentuk sebuah pola.

Kain yang dibentangkan pada pigura paralon tersebut kemudian dianginkan di halaman  bengkel batik.

Sementara itu, di halaman bengkel, sejumlah penyandang disabilitas lainnya terlihat memberi warna kain yang telah diberi pola.

Meski terik matahai cukup menyengat, mereka terlihat bersemangat menunaikan tugas masing masing.

Mereka tidak tahu jika hasil karya mereka hari ini dikenakan oleh sejumlah pejabat dalam rangka memperingati Hari Batik Nasional.

Tak kenal hari istimewa

Bagi para perajin batik Ciprat Langitan, Hari Batik Nasional tak ada bedanya dengan hari lain.

Sejak pagi, mereka asyik berkutat dengan aktivitas masing masing.

“Mereka tidak tahu kalau hari ini adalah Hari Batik Nasional. Dari pagi mereka kerja sampai sore. Nanti malam disambung lagi dari jam 19:00  sampai jam 22:00 WIB,” ujar Jumiati, pegawai bagian produksi pada bengkel Ciprat Langitan.

Jumiati mengatakan, di Hari Batik Nasional, para disabilitas malah kebanjiran order, sehingga sampai harus lembur untuk memennuhi pesanan.

Pesanan paling banyak berasal dari instansi pemerintah daerah, di mana Bupati Magetan mencanangkan penggunaan seragam batik untuk hari hari tertentu.

Jumiati mengatakan, saat ini lebih dari 200 lembar pesanan batik yang harus dikerjakan oleh para siswanya.

Disebut siswa, karena di bengkel batik Ciprat Langitan,  puluhan penyandang disabilitas memang diberi pelatihan untuk membatik.

“Satu hari untuk motif paling mudah, kami bisa menghasilkan 15 lembar. Kalau motif sulit, lebih dari 2 kali pewarnaan itu hanya 5 lembar,” kata Jumiati.

Buta warna hingga salah motif

Dibutuhkan kesabaran yang tiada batas untuk mengajari penyandang disabilitas di Desa Simbatan dalam mengerjakan secarik batik.

Meski dikelola sejak 2005 lalu, kesalahan dalam pembuatan batik oleh siswa masih saja berlaku.

“Ini baru saja, tidak sengaja warna berbeda, terkena batik di sebelahnya,” kata Jumiati.

Salah motif adalah kejadian lumrah yang terjadi hampir setiap hari.

Bahkan, kesalahan pewarnaan juga kerap terjadi jika Jumiati lengah mengawasi pekerjaan para siswa.

“Harus dikawal terus, karena ada siswa yang buta warna. Jadi disuruh warna hijau, malah diwarna kuning," kata dia.

Kesabaran juga dibutuhkan saat sejumlah pembeli menuntut sebuah kesempurnaan hasil batik dari para siswa penyandang disabilitas.

Denny, salah satu pendamping siswa mengaku batik hasil siswanya memang jauh dari kata sempurna.

“Ya harus sabar kalau ada pembeli yang mencela, ini kurang begini, ini kurang begitu. Mereka tidak menyadari bahwa yang membuat adalah siswa dengan disabilitas,” ujar Denny.

Kesabaran juga harus dihadapi oleh pendamping saat semua pesanan dikembalikan tanpa kejelasan, karena dianggap hasil batiknya tidak sempurna.

Salah satu pesanan dari PDAM Magetan sebanyak 60 lembar batik, bahkan harus diterima kembali, karena dianggap tidak sempurna.

Lagi-lagi Denny mengaku hanya bisa bersabar.

“Dikembalikan, kita tidak tahu alasannya apa. Mungkin ada cacat sedikit, tapi demi menjaga kepuasan pelanggan, kita akan buat ulang,” kata Denny.

Saat ini, penyandang disabilitas yang aktif mengerjakan batik di bengkel batik Ciprat Langitan Simbatan hanya 10 orang, dari 30 anggota bengkel batik.

Denny mengatakan, banyak orang tua mereka yang memilih mempekerjakan anak mereka di sektor kerja yang menerima upah harian.

Pengelola bengkel batik Ciprat Langitan rencananya akan mengajak para siswa untuk berlibur ke pantai di Pacitan dalam waktu dekat.

Liburan sebagai ganti memperingati hari batik yang harus mereka lalui dengan bekerja.

“Ini sebagai pengganti hari batik, di mana mereka harus bekerja sampai lembur,” ucap Denny.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com