Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Setahun Pasca-gempa, Palu Mencoba Bangkit...

Kompas.com - 28/09/2019, 07:43 WIB
Vitorio Mantalean,
Sandro Gatra

Tim Redaksi

PALU, KOMPAS.com - Jalan Poros Palu-Kulawi-Sigi tak lagi beraspal di ujung jalan. Ban mobil kami berderak seketika memasuki tanah lapang di bekas Dusun Jono Oge di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Rabu (25/9/2019) siang.

Debu beterbangan. Jalanan tak lagi mulus.

“Dulu, Jalan Poros tadi itu aspal semua. Mobil bisa lari 80 (km/jam) di sini,” ujar Thomas, sopir kami siang itu.

Sebelum masuk Jono Oge, mobil yang kami tumpangi mesti berkali-kali mengerem saat melesat. Rata-rata karena aspal jalan sudah bergelombang dan berlubang di beberapa titik usai gempa 28 September 2018 lalu.

Sisanya, mobil kami harus berhenti demi menanti kawanan sapi kurus tanpa gembala melenggang.

Kanan-kiri Jalan Poros masih berdiri rumah-rumah warga. Satu-dua masih berpenghuni, lebih banyak sisanya ditinggal pergi.

Kebanyakan rumah dindingnya telah jebol, sebuah lanskap yang merekam nelangsa gempa setahun silam.

Memasuki Jono Oge, lanskap berubah menjadi tanah lapang, seperti tanpa batas.

Sekilas, Jono Oge biasa saja. Wilayah ini tidak menyajikan jejak yang cukup dramatis sebagai bukti dampak gempa berkekuatan 7,4 SR yang meluluhlantakkan Palu, Sigi, dan Donggala tahun lalu.

Tanah lapang bekas Dusun Jono Oge di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Di wilayah ini, fenomena likuefaksi melumat 366 rumah saat gempa melanda pada 28 September 2018.KOMPAS.COM/VITORIO MANTALEAN Tanah lapang bekas Dusun Jono Oge di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Di wilayah ini, fenomena likuefaksi melumat 366 rumah saat gempa melanda pada 28 September 2018.

Saat itu, tidak muncul pilu di batin saya waktu memasuki Jono Oge, berbeda saat menyaksikan kanan-kiri Jalan Poros.

Yang saya ingat, saya hanya menggumam, “Di luar panas betul, pasti.”

Akan tetapi, perasaan berubah drastis ketika Thomas kembali bicara.

“Pohon-pohon kelapa ini dulu tidak ada. Masih rumah semua,” ujarnya sambil berjibaku mengendalikan setir yang membuang ke sana-sini akibat medan yang buruk.

“Di sini likuifaksi paling parah, selain di Sibalaya (juga di Kabupaten Sigi),” Thomas menambahkan.

Warga Sulawesi Tengah tahun lalu dirundung tiga petaka sekaligus saat gempa menimpa sebagian besar Palu, Sigi, dan Donggala.

Di mana-mana, tanah berguncang. Di pesisir, tsunami menyapu segala yang ada di hadapan pantai.

Di Petobo, Balaroa, Jono Oge, dan Sibalaya, fenomena likuifaksi menggulung segala benda di atas tanah, termasuk 366 rumah di Dusun Jono Oge.

Lapisan tanah yang rupanya memendam air bergolak bersama gempa, menimbulkan pusaran yang tak sampai berapa menit melumat dusun.

Banyak keluarga berpisah tiba-tiba pada peristiwa luka di batas senja itu.

“Tujuh hari setelah gempa saja, so (sudah) tiada rumah berdiri. Becek-becek berlumpur saja. Bau mayat itu di mana-mana,” kata Thomas lagi.

Intinya, Dusun Jono Oge ada di bawah tanah. Mobil kami melintas di atas perkuburan massal.

Setahun tunawisma

Sigi dan Donggala adalah dua kabupaten yang mengepung Kota Palu. Kita bisa menerka bagaimana pemulihan pascagempa di sana dengan bercermin pada pemulihan pascagempa di Kota Palu, ibu kota provinsi, yang luasnya kurang dari seperlima Donggala maupun Sigi.

Di Kelurahan Balaroa, Kota Palu, perasaan siapa pun akan teriris menyaksikan jejak gempa yang masih telanjang.

Tanah yang bergelombang di sana-sini berselimut puing-puing rumah.

Rumah warga Balaroa, Kota Palu, Sulawesi Tengah porak-poranda oleh gempa pada 28 September 2018.KOMPAS.COM/VITORIO MANTALEAN Rumah warga Balaroa, Kota Palu, Sulawesi Tengah porak-poranda oleh gempa pada 28 September 2018.

Saya tak sengaja bersua Tune (39), warga Balaroa pada Selasa (24/9/2019).

Sore itu, kami berdua bersanding memandangi puing-puing yang menghampar luas, dengan latar siluet perbukitan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com