Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dokter Soeko Marsetiyo Pilih Mengabdi di Papua meski Jauh dari Keluarga, Ini Alasannya

Kompas.com - 27/09/2019, 22:33 WIB
Khairina

Editor

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Sejak lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, dokter Soeko Marsetiyo memilih untuk mengabdikan diri di tanah Papua.

Dokter Soeko Marsetiyo, yang bertugas di Tolikara, Papua, meninggal setelah menjadi korban kerusuhan di Wamena, Kabupaten Jayawijaya.

"Biasa kan ada masa bakti PTT (pegawai tidak tetap). Dia memilih dapat di Papua," ujar adik Soeko, Endah Arieswati, saat ditemui seusai pemakaman, Jumat (27/9/2019).

Endah menyampaikan, seingatnya, Soeko mendapat masa bakti di Papua selama dua tahun.

Baca juga: Dimakamkan di Yogya, Dokter Soeko Marsetiyo Cintai Papua Sampai Akhir Hayat

Awal-awal di Papua, Soeko sempat bercerita kepada Endah. Saat itu, Soeko bercerita tentang suka duka di Papua.

"Jarang pulang, ya tahu sendiri terkendala biaya kan PTT di sana gajinya enggak seberapa, apalagi di pedalaman. Awal-awal cerita mau makan mi saja harganya mahal minta ampun, ya cerita suka duka di sana," ujarnya.

Seiring berjalannya waktu, Soeko mulai bisa beradaptasi. Ia pun mulai tidak banyak bercerita kepada adiknya. Justru setelah selesai masa baktinya, Soeko tidak lantas memilih tugas di kota. Dokter kelahiran 1966 ini justru memilih untuk mengabdikan diri di Papua.

"Setelah selesai masa bakti, kalau teman-teman yang lain itu kan biasanya terus mencari ke kota. Tetapi, dia keukeuh meminta untuk tetap di Papua," katanya.

Keluarga, lanjutnya, pernah menanyakan kepada Soeko mengenai pilihannya bertugas di Papua. Saat itu, Soeko menjawab, tenaga dokter lebih dibutuhkan di Papua.

"Dia cuma (menjawab) di Semarang itu sudah banyak dokter, kalau aku di sini (Semarang) tidak ada gunanya, sudah banyak orang pintar. Kalau di sana (Papua) paling tidak aku bisa berbuat sesuatu, itu saja," ujarnya.

"Bagi keluarga juga aneh, hidup di sini (Semarang) enak, kok tidak mau. Tapi ya keinginannya memang begitu," katanya.

Menurutnya, pihak keluarga pernah mencoba untuk membujuk Soeko. Namun, anak kelima dari delapan bersaudara ini tetap bertekad bulat di Papua.

"Ya pasti (pernah membujuk), cuma jawabannya itu tadi, ke sini-sininya kalau ditanya dan dipaksa itu ya cuma senyum-senyum," katanya.

Namun, Soeko tidak secara gamblang menjelaskan kepada keluarga alasan untuk tetap di Papua. Secara pribadi, Soeko memang dikenal sebagai sosok yang lemah lembut.

"Enggak terlalu banyak bercerita tentang kenapa bertahan di sana, tetapi kalau melihat dari masyarakat Papua yang dekat dengan dia, nah itu nanti ketahuan. Teman-teman mengenal dia itu orang yang lemah lembut sebetulnya," katanya.

Baca juga: Kisah Dokter Soeko, Bertugas di Pedalaman Papua, Wafat dalam Kerusuhan Wamena

Selama di Papua, lanjutnya, lokasi tugas Soeko berpindah-pindah. Namun, ia terakhir bertugas di Tolikara.

"Pokoknya di Papua itu sudah 15 tahun. Kira-kira dari 2003 atau 2004," katanya.

Tugas di Papua membuat keluarga harus rela tidak bisa setiap saat bertemu dengan Soeko. Bahkan, untuk sekadar melepas kangen melalui telepon harus dua minggu sekali.

"Tinggal di Papua itu jadi keterbatasan waktu bertemu kami dan tahu sendiri daerah Tolikara itu susah sinyal. Jadi, kalau tidak salah, dia setiap dua minggu sekali turun untuk telepon," katanya.

Diungkapkannya, sehari sebelum kejadian Soeko sempat mengirim SMS ke beberapa orang keluarganya.

"Sehari sebelumnya itu ternyata dia sempat mengirimkan SMS ke beberapa om (paman) dan tante. Isinya potongan ayat Kursi. Kami tidak mengerti maksudnya apa, terus tiba-tiba dengar kabar seperti ini," ujarnya.

Sementara itu, Kepala Balai Penanggulangan dan Pengendalian AIDS, Tuberkolosis, dan Malaria (ATM) Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Papua dr Beeri Wopari mengatakan, Soeko bertugas di Tolikara sejak 2013.

"Lebih banyak bertugas di puskesmas. Artinya di daerah terpencil, kurang lebih dua jam dari ibu kota kabupaten. Dua jam itu dengan medan yang berat dan beliau lebih banyak di sana, tetapi memang pilihan beliau tugas di pedalaman," ungkapnya.

Disampaikannya, di tempat tugas, Soeko sangat dekat dengan masyarakat.

"Beliau ini sangat disayangi oleh masyatakat di sana. Kami tenaga kesehatan masih sangat kurang, terutama di daerah-daerah pedalaman. Jadi dengan beliau berpulang tentu untuk mengisi tenaga dokter kembali itu tidak mudah," ujarnya.

Baca juga: Dokter Soeko Wafat Saat Terjebak Kerumunan Massa di Kerusuhan Wamena

Kepergian dokter berusia 53 tahun ini menjadi duka dunia kesehatan Indonesia.

Pukul 16.09 WIB ambulans yang membawa jenazah Soeko tiba di pemakaman keluarga, Kejambon Lor, RT 03/RW13, Desa Sindumartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman.

Isak tangis keluarga pecah seiring kedatangan jenazah dokter berusia 53 tahun ini.
Peti jenazah lantas dibawa ke kompleks makam keluarga. Seusai dishalatkan, almarhum lalu dibawa ke peristirahatan terakhir.

Isak tangis keluarga kembali pecah, seiring tanah menutup liang lahat.

Karangan bunga turut berdukacita pun mewarnai area pemakaman keluarga.

Karangan bunga turut berdukacita antara lain datang dari Menteri Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Papua, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) DIY, Ikatan Dokter Indonesia (Sleman), dan Keluarga Besar Alumni Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Turut hadir pula dalam pemakaman, Kepala Balai Penanggulangan dan Pengendalian AIDS, Tuberkulosis, dan Malaria Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Papua dr Beeri Wopari. Dokter Soeko Marsetiyo meninggal di usia 53 tahun. Almarhum meninggalkan seorang istri dan tiga anak. 

(KOMPAS.com/Wijaya Kusuma)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com