KOMPAS.com - Jenab Napituli terpaksa mengungsi ke rumah salah satu anggota polisi, Senin (23/9/2019) saat kerusuhan pecah di Wamena, Jayawijaya.
Jenab bercerita tidak membawa apapun selain baju yang dia gunakan, karena rumahnya terbakar saat kerusuhan.
"Kami berharap pemerintah ataupun pihak swasta membantu kami yang kekurangan makanan. Kami juga butuh baju karena yang kami bawa cuma baju di badan saja," kata Jenab.
Baca juga: Pasca-kerusuhan di Wamena, 100 Warga Mengungsi di Rumah Anggota Polisi
Tidak hanya Jenab yang mengungungsi. Tercatat ada 5.000 orang yang mengungsi karena kerusuhan Wamena.
Ada empat titik pengungsian yakni di Polres Jayawijaya, Kodim, DPRD Jayawijaya, dan di salah satu gereja di Kota Wamena.
Warga memilih mengungsi karena rumah mereka habis terbakar dan takut terjadi aksi susulan.
Kepolisian Resort Jayawijaya menyebut korban tewas akibat kerusuhan di Kota Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, mencapai 31 orang.
Baca juga: Dokter Soeko Wafat Saat Terjebak Kerumunan Massa di Kerusuhan Wamena
"Di SMA PGRI, ada isu seorang guru yang sedang mengajar menyampaikan kepada muridnya, 'kalau berbicara, keras'," ujar Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian daat konferensi pers di Gedung Kementerian Politik Hukum Keamanan, Jakarta, Selasa (24/9/2019).
"Tapi terdengar oleh sang muridnya 'kera' sehingga muncul lagi (isu), si pelajar itu bilang ke orang lain 'saya dikatakan', mohon maaf, 'kera'. Padahal, yang dimaksud (guru) adalah 'jangan bicara keras'," kata dia.
Tito yang pernah menjabat Kepala Polda Papua mengakui, logat Papua memang unik. Ada kata-kata di mana huruf terakhir tidak terlalu menonjol dilafalkan.
"Tone logat Papua kan sedikit berbeda dengan yang lainnya. Dalam konteks ini, kedengaran (huruf) 's'-nya agak lemah," ujar Tito.
Baca juga: Kapolri Akui Rusuh Wamena Disulut Salah Paham, Keras Jadi Kera
Mereka berusaha mendapatkan tiket penerbangan pesawat Hercules milik TNI AU agar bisa meninggalkan Kota Wamena.
Warga mendapat kabar bahwa korban kerusuhan akan diangkut keluar dari Kota Wamena menuju Sentani, Kabupaten Jayawijaya, dengan biaya Rp 50.000.
Penerbangan domestik yang telah dibuka sejak Selasa (24/9/2019), tak mampu mengangkut ribuan warga yang hendak keluar dari Kabupaten Jayawijaya.
Baca juga: Data Polisi, Korban Tewas akibat Kerusuhan di Wamena Berjumlah 31
“Saya ingin segera pulang ke kampung halaman. Di sini nyawa kami sangat terancam. Rumah saya dibakar, kios-kios dibakar, bahkan kantor pemerintahan juga mereka bakar,” ungkap Debora Sibuea, asal Sumatera Utara.
Ia mengaku trauma karena nyawanya hampir saja hilang. Saat kerusuhan dia hanya menyelamatkan KTP serta ijazah.
“Saya tidak tahu apakah kami mengantre dan kemudian bisa ikut terbang. Saya sudah dua jam mengantre dan seharian menunggu kepastian bisa ikut terbang, sesuai dengan pesan yang kami terima dari warga-warga,” pungkas dia.
Baca juga: Warga Penuhi Pangkalan TNI AU, Ingin Keluar dari Wamena