KOMPAS.com - Keringat mengucur pada wajah pemadam kebakaran, relawan, hingga warga awam yang bahu-membahu memadamkan api pada lahan gambut di sekitar rumah warga di di perbatasan Palangkaraya dan Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Rabu (19/9/2019).
Pada hari itu, parit yang dibuat di sekeliling lahan gambut yang terbakar - yang seharusnya dipenuhi air untuk mencegah perambatan api - sudah mengering.
Akibatnya, petugas harus mencari sumur terdekat dan sumber air lainnya, lalu mengangkutnya bolak-balik ke titik api.
Baca juga: Panjang Sekat Penahan Api di Lahan Gambut Capai 3250 Meter
Sekali jalan, mereka hanya bisa mengangkut 1.000 liter air dalam tangki yang dibawa di belakang mobil pikap, yang kemudian habis hanya dalam waktu 10 menit.
"Kesulitan kami yang terutama adalah sumber air. Jadi karena ini musim kemarau, Palangkaraya ini kering, sama sekali kering," tutur Zulkarnaen, Koordinator Taruna Siaga Bencana (Tagana) Kota Palangkaraya, kepada BBC News Indonesia.
Selain kelangkaan sumber air, sifat alami gambut kering yang mudah terbakar dan 'menyimpan' bara di dalam rongga tanah, membuat pemadaman api memakan waktu yang lebih lama. Setiap titik setidaknya memerlukan waktu satu jam.
"Harus dipastikan, apinya mati di permukaan juga di dalam," kata Zulkarnaen.
Baca juga: Kisah Warga Palangkaraya Bertahan Menghirup Asap, Tak Ada Biaya Mengungsi hingga Sesak Napas
Selain mereka yang bergerak di bawah kementerian dan lembaga pemerintahan, sejumlah lembaga swadaya masyarakat pun ikut ambil bagian dalam penanganan karhutla. Youth Act Kalimantan salah satunya.
Andrean Perdana, mahasiswa tingkat akhir di Sekolah Tinggi Ilmu Komputer Palangkaraya, memimpin para relawan muda Youth Act untuk membantu upaya pemadaman api di lapangan.
Ia mengarahkan mereka untuk mengulur selang, menyalakan mesin pompa air, hingga memberikan dorongan semangat bagi anggota tim yang mulai kelelahan.
Baca juga: Bertambah, Kini 6 Perusahaan Jadi Tersangka Kebakaran Hutan dan Lahan
Baginya, bergumul dengan api serta asap kebakaran hutan dan lahan bukan hal asing.
"Dulu sudah sering ikut secara spontan pemadaman-pemadaman bersama warga di kampung dan teman-teman sekolah," ujar Andre, sapaan akrabnya.
Pemuda asli Dayak itu bercerita tentang pengalamannya memadamkan api di belakang sekolahnya dulu di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah.
Api kerap muncul dari balik lahan gambut yang terletak dekat dari gedung sekolah.