Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Desa Penari yang Eksistensinya Terancam Regenerasi...

Kompas.com - 19/09/2019, 19:22 WIB
Markus Yuwono,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Desa penari tepat disandang Dusun Badongan, Desa Karangsari, Kecamatan Semin, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Namun menyandang desa penari tayub masa depannya terancam regenerasi, karena pada tahun 1960-an hingga 1990-an ada puluhan penari tayub, dan saat ini hanya ada tiga orang. 

Berada di perbatasan Wonogiri, Jawa Tengah. Desa Karangsari berada diperbukitan gersang merangas karena kemarau, sungai pun mengering. Menelusuri pemain Tayub cukup sulit, karena   Kompas.com  pun harus bertanya beberapa kali untuk bisa menemukan penari Tayub yang tersisa

Di salah satu rumah dekat sungai Oya yang mengering tepatnya di Dusun Badongan, tinggal seorang penari tayub, Gunem (65).

Nenek empat orang cucu ini tinggal di rumah cukup megah karena suaminya meninggal 4 tahun lalu, dan dua orang anaknya sudah berkeluarga. Saat dikunjungi, Gunem tengah berada di belakang rumah untuk beristirahat siang. 

Baca juga: Mengenal Telaga Rowo Bayu, Tempat yang Dikaitkan Kisah KKN Desa Penari

Hingga kini mbah Gunem, panggilan akrabnya, masih aktif menari di sejumlah kota di pulau jawa, bersama group kesenian Tayub 'Lebdo Rini'.

Cerita Mbah Gunem, penari tayub yang tersisa

Masih kuat diingatan dirinya, pertama kali menari tayub sekitar tahun 1968, saat itu dirinya masih duduk di klas IV SD.

"Saya pertama ikut tari tayub ikut kakak yang sudah menari duluan. Waktu itu dikarenakan pengen punya uang sendiri. Kebetulan orang tua kurang mampu," ucapnya saat ditemui di rumahnya Kamis (19/9/2019). 

"Awal menari ya diajari kakak saya itu, keterusan sampai sekarang. alau soal sejarah apa itu Tayub dan kapan mulai masuk ke Gunungkidul saya tidak mengetahui secara persis. Ada yang lebih paham mengenai sejarah tari Tayub namun sudah meninggal dan belum diturunkan kepada generasi penerus," ucapnya. 

Sejak kecil dirinya ikut kesenian Tayub dari panggung ke panggung, hingga usia senja dirinya masih bertahan dengan profesinya itu.

Bahkan, masih bisa ikut pertunjukkan tari Tayub dimulai dari sore hari hingga pagi barulah tari Tayub selesai dipentaskan. Meski dirinya hanya sebagai penari pembuka dengan menari gambyong.

Baca juga: KKN di Desa Penari, Mengapa Ular Kerap Jadi Hewan Siluman?

 

Masih laris ditanggap

Hingga kini kelompoknya masih eksis dan terus dimintai bermain tayub diacara ataupun ritual. 

Gunem menjelaskan sebelum Tari Tayub dipentaskan terlebih dahulu melakukan ritual, barulah setelah itu tarian Tayub dipentaskan. Saat diminta untuk menari Gambyong tangannya masih luwes menari menggunakan selendangnya.

"Paling laris pementasan itu bulan (kalender jawa) Besar, Sapar, dan Rejeb. Kalau bulan Besar itu malah full hampir satu bulan tidak pernah kosong," ucapnya. 

"Di Purworejo sejak tahun 1978 hingga saat ini, ketika ada  saparan pasti memanggil kami untuk pentas disana. Belum pernah putus sama sekali. Disana itu mainnya Mulai sore hari lalu saat maghrib istirahat dan jam 9 mulai lagi hingga pagi jam 3-4," ujarnya. 

Baca juga: Seribu Penari Pentaskan Tarian Klono Sewu di Jombang

Mirip tari Jaipong

Untuk wilayah Gunungkidul sendiri hanya beberapa lokasi yang hingga kini masih mementaskan Tayub, terutama di Kecamatan Semin. Untuk sekali pentas maksimal kelompok 'Lebdo Rini' mendapatkan bayaran Rp 5 juta.

Namun para pemain biasanya mendapatkan penghasilan lebih yaitu dari orang-orang yang memberikan uang saat menari (saweran), dan akan dibagi rata kepada seluruh pemain.

Adapun dalam kelompok tayub terdiri dari pemain gamelan, penyanyi, dan penari.

"Dulu awal-awal ikut Tayub bayaran ya hanya Rp 10.000 itu dulu kalau sekarang mungkin sebesar Rp 500.000," katanya. 

Perlu diketahui Tayub merupakan kesenian tari yang dimainkan para wanita. Mereka akan menari mengikuti tabuhan dan nyanyian dari para pengrawit.

Tayub populer di Jawa Tengah, dan sering disebut mirip tari Jaipong.

Selain menari untuk menghibur warga, Tayub sering dimainkan untuk kegiatan budaya seperti di lokasi yang dianggap memiliki sejarah bagi desa tersebut.

Baca juga: Kisah Budiono, Pria Mirip Jokowi yang Blusukan Mengajarkan Reog di Magetan

 

 

Minim regenerasi penari tayub

Gunem (64) Seorang Penari Tayub dari Desa Karangsari, kecamatan Semin, Gunungkidul Kamis (19/9/2019)KOMPAS.COM/MARKUS YUWONO Gunem (64) Seorang Penari Tayub dari Desa Karangsari, kecamatan Semin, Gunungkidul Kamis (19/9/2019)
Ketika disinggung mengenai masa depan tari Tayub di desanya. Gunem hanya bisa tersenyum kecut, dan cukup bingung menjawab.

Sepengetahuan dirinya, kesenian tayub awalnya ada dua kelompok yakni Dusun Kuweni, dan Badongan. Namun karena minimnya penari Tayub kedua kelompok ini melebur menjadi satu.

"Dulu seangkatan saya itu banyak sekali. Ada puluhan (penari) mungkin di desa ini. Sekarang tinggal tiga. Saya, Purwanti dan Wahyu. Ada satu yang masih sekolah, kalau hari sabtu dan Minggu mau ikut juga," ucapnya. 

Hambatan yang sering dihadapi seperti ketika ada penari berhalangan untuk ikut dalam sebuah pentas. Untuk mengatasi hal tersebut dirinya mencari penari lain yang tidak memiliki kemampuan untuk menunjukkan tari Tayub.

"Mau tidak mau ya saya carikan penari lain biasanya dari campursari. Kalau ada yang paham mengenai tari Tayub pasti akan tahu bahwa yang menari bukan asli penari Tayub, yang membedakan adalah gerakannya kalau yang tidak terbiasa pasti terlihat kaku," ujarnya.

"Biasanya mereka berhenti menari karena sudah berkeluarga. Ada beberapa teman saya dulu berhentinya karena dilarang suaminya. Saat ini ada beberapa kelompok penari tayub, tetapi sudah tidak sama pakemnya dengan kami," ucapnya.

Baca juga: KKN di Desa Penari, Kenapa Kita Harus Menghormati Aturan Suatu Daerah?

 

Gerakannya susah ditiru

Penari Tari Tayub, Purwanti (41), mengatakan dirinya menari karena mengikuti ibunya yang juga sebagai penari Tayub, tetapi sudah berhenti.

Awalnya dirinya menari Tayub bersama adiknya, tetapi setelah berkeluarga adiknya berhenti.

"Awalnya sekitar usia SMP-lah, epengen ikut saja karena ibu saya juga seorang penari Tayub. Ditambah lagi saat itu juga kekurangan tari Tayub," ucapnya. 

Dijelaskannya, bagian tari Tayub yang tidak bisa ditiru oleh penari lainnya adalah gerakan Gambyong dan ukel. Kalau penari Tayub asli pasti terlihat lebih luwes.

"Pengennya ada regenerasi untuk penari Tayub sampai saat ini belum ada yang berminat untuk meneruskan," ucapnya. 

Baca juga: 17 Agustus: Kisah Penari Kepercayaan Bung Karno, Tetap Menari di Usia Senja

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com