MEDAN, KOMPAS.com - Nama bayi tersebut Yoselin. Dia baru berusia 8 bulan. Di gendongan ibundanya, Rasiana (26), bayi perempuan tersebut tampak tertidur pulas sambil meminum susu dari botol kecil.
Sesekali mata kecilnya terbuka lalu menutup lagi. Saat ibundanya mengangkat barang bawaan, dia terbangun dan menangis. Susunya tak habis.
Kamis pagi tadi (18/9/2019), sekitar pukul 09.45 WIB, warga Desa Karya Tunas Jaya, Kecamatan Tempuling, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, itu tiba di stasiun bus Makmur di Jalan Sisingamangaraja, Kelurahan Harjosari II, Kecamatan Medan Amplas.
UPDATE: Kompas.com menggalang dana untuk para korban kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Sumbangkan sedikit rezeki Anda untuk membantu mereka yang membutuhkan, terutama untuk pembelian masker dan kebutuhan lainnya yang perlu. Klik di sini untuk donasi.
Suaminya, Yehezkiel (33) tergopoh-gopoh mengangkat koper besar, termos, tas jinjing, handuk, minuman dan lainnya dari dalam bus dan bagasi ke samping toilet.
"Rencananya 3 minggu lah di Medan. Di sana (Riau) asapnya pekat sekali," katanya dengan ramah.
Baca juga: Tak Tahan Terdampak Kabut Asap Riau, Warga Pilih Mengungsi ke Medan
Yehezkiel mengatakan, dia bersama keluarganya sengaja ke Medan dan menginap di rumah istrinya di Setia Budi, Medan karena di rumahnya asap kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sudah sangat pekat.
Jarak pandang hanya 100 meter. Rumahnya hanya 3 jam dari Pelalawan, Riau.
Untuk sementara dia meninggalkan kebun kelapa dan kelapa sawitnya yang seluas dua hektarekarena tidak tega melihat anaknya yang sebelumnya lasak (aktif), sejak terjadi karhutla, Yoselin sakit batuk dan sering muntah-muntah.
Ceritanya sejenak terhenti saat anak di pangkuannya menangis. Yoselin pindah ke pangkuan istrinya, sambil mengenyot dot. Matanya berlinang air mata.
"Kasian dia, jadi lemes gini. Biasanya lasak. Tapi masih minum obat dia. Kemarin sempat dibawa ke mantri di sana. Mudah-mudahan sembuhlah di sini," kata Rasiana.
Baca juga: Cerita Penderita Asma yang Berjuang di Tengah Kepungan Kabut Asap
Masker, kata dia, tidak seterusnya dipakai karena seharian penuh asap dihirupnya.
Pemilik kebun kelapa dan kelapa sawit seluas dua hektar ini mengatakan, masih banyak warga yang memilih bertahan di lokasi karena mata pencaharian satu-satunya dari perkebunan.
Yehezkiel dan keluarganya satu di antara keluarga lainnya yang pindah sementara ke Medan dari Pekanbaru lantaran asap karhutla semakin pekat.