Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kebakaran Hutan, Pemerintah Klaim Baru Terima Rp 400 Miliar dari Perusahaan Pembakar Lahan

Kompas.com - 17/09/2019, 15:10 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Dari total ganti rugi sebesar Rp18,9 triliun yang wajib dibayarkan perusahaan pembakar hutan dan lahan, pemerintah mengaku baru menerima sekitar Rp400 miliar, kondisi yang disebut pegiat lingkungan akibat pemerintah yang tidak tegas.

Pengkampanye isu kehutanan di lembaga pemantau lingkungan Greenpeace, Kiki Taufik, menilai tak selesainya pembayaran ganti kerugian membuat perusahaan tak pernah mendapat efek jera.

Data perusahaan yang divonis bersalah pengadilan itu telah dibuka ke publik sejak awal 2019.

Baca juga: Kebakaran Hutan, Polri Tetapkan 218 Orang dan 5 Korporasi sebagai Tersangka

Dari total ganti rugi sebesar Rp18,9 triliun yang wajib dibayarkan perusahaan pembakar lahan, pemerintah mengaku baru menerima sekitar Rp400 miliar di antaranya.

Pemerintah, menurut Kiki Taufik memiliki beragam cara untuk menghukum perusahaan pembakar lahan dan hutan termasuk dengan mencabut izin konsesi korporasi tersebut.

"Dengan kebakaran yang saat ini terjadi, pemerintah dengan gagah sebut perusahaan Malaysia dan Singapura ikut membakar, tapi apa lanjutannya?

Baca juga: Sebanyak 1.704 Warga Batam Menderita ISPA Akibat Kebakaran Hutan di Riau

Sebuah kawasan hutan di Kalimantan Tengah terbakar, 14 September 2019. dok BBC Indonesia Sebuah kawasan hutan di Kalimantan Tengah terbakar, 14 September 2019.

"Apakah pemerintah menarik izinnya, menarik denda, dan merehabilitasi lahan? Tidak ada informasi itu. Memang setengah-setengah. Yang dilakukan pemerintah adalah pencitraan," kata Kiki saat dihubungi, Senin (16/9/2019).

Greenpeace mencatat, terdapat 11 perusahaan yang terbukti bersalah di pengadilan telah merusak dan membakar lahan konsesi secara sengaja. Data itu sesuai dengan pemaparan Presiden Joko Widodo, Februari lalu.

Perusahaan yang dijatuhi hukuman ganti rugi terbanyak adalah PT Merbau Pelalawan Lestari, yaitu Rp16,2 triliun.

Ada pula PT National Sago Prima (Rp1,07 triliun) dan PT Bumi Mekar Hijau (Rp78 miliar).

Bumi Mekar Hijau disebut bekerja sama dengan grup Sinar Mas. BBC Indonesia berusaha menghubungi sejumlah pejabat perusahaan itu, tapi belum mendapatkan konfirmasi.

Baca juga: Ratusan Korban Kebakaran di Asmat Papua Ditampung di 3 Lokasi

 

"Kalau perusahaan tidak bisa bayar, pailitkan"

Seorang polisi berusaha memadamkan api yang menyala di suatu lahan di Palangkaraya, 14 September 2019. dok BBC Indonesia Seorang polisi berusaha memadamkan api yang menyala di suatu lahan di Palangkaraya, 14 September 2019.
Sementara itu, dalam laporan tahunan resminya, National Sago Prima mengaku belum menerima salinan putusan Mahkamah Agung. Dengan alasan ini, mereka urung membayar ganti rugi yang dibebankan kepada mereka.

Juru Bicara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jati Witjaksono, mengklaim sejauh ini pemerintah telah menerima Rp400 miliar dari total ganti rugi yang semestinya diterima.

Namun terkait sanksi lain yang disebut sejumlah kalangan lebih tegas, Jati menyebut lembaganya tak berwenang menjatuhkan hukuman itu.

"Proses yang sekarang biar ada efek jera dan pencegahan dari awal. Sebagian lahan yang terbakar ini kan karena mereka menyiapkan kebun, itu bukan kewenangan kami lagi," kata Jati.

Baca juga: Jokowi Klaim Telah Lakukan Upaya Ini untuk Padamkam Kebakaran Hutan di Riau

"Pemberi izinnya adalah bupati atau gubernur, dan di dalam izinnya harus disebutkan mereka harus bagaimana. Pemberi izinlah yang seharusnya mengawasi," tuturnya.

Pekan lalu, KLHK menyatakan dari puluhan kasus pembakaran lahan oleh perusahaan, baru 17 perkara yang berkekuatan hukum tetap atau inkrah. Total ganti rugi dari kasus-kasus itu Rp3,15 triliun.

Lantas, adakah siasat agar negara tetap dapat ganti rugi atas kerusakan lahan yang dibakar secara sengaja atau akibat kelalaian perusahaan?

Menurut Kiki Taufik dari Greenpeace, pemerintah mesti melacak kepemilikan perusahaan.

"Kalau perusahaan tidak bisa bayar, pailitkan. Kan ada beneficial owner (pihak yang mendapat royalti atau deviden)," ujar Kiki.

Baca juga: Presiden Jokowi: Segala Usaha Dilakukan untuk Padamkan Kebakaran Hutan

Gambar udara pusat kota Palangkaraya. Menurut AirVisual.com, polusi udara di kota itu 20 kali lipat di bawah ambang batas normal. dok BBC Indonesia Gambar udara pusat kota Palangkaraya. Menurut AirVisual.com, polusi udara di kota itu 20 kali lipat di bawah ambang batas normal.

"Bisa cek stakeholder yang berkaitan dengan Merbau Pelalawan Lestari yang tidak mampu bayar. Stakeholder-nya harus ikut bertanggung jawab."

"Selama ini yang dilakukan pemerintah hanya di permukaan. Bagus di awal, tapi pada saat bicara detail, jauh dari harapan," kata Kiki.

Mandeknya proses ganti rugi, menurut Kiki, meniadakan efek jera bagi para pembakar lahan dan hutan.

Dampak terburuknya, kata dia, metode pembakaran lahan jelang musim tanam sawit dianggap benar sehingga karhutla berpotensi terus berulang setiap tahun.

Baca juga: Jokowi: Kalau Pemda Tak Dukung, Kebakaran Hutan Sulit Diselesaikan

"Pemerintah negara maju biasanya mengejar pelaku sampai ke hukum pidana, di Indonesia tidak seperti itu. Yang paling rugi adalah masyarakat, berapa banyak korban jiwa dan sakit?" kata Kiki.

Hingga akhir pekan lalu, KLHK mengklaim telah menyegel 42 perusahaan di Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Selatan.

Dari jumlah itu, ada tiga perusahaan yang mendapat modal dari Malaysia dan satu yang berpusat di Singapura.

Sederet korporasi itu diduga penyebab karhutla yang mengakibatkan gangguan kesehatan masyarakat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com