Sementara di rumah, Camelia dibantu anaknya mulai mengusahakan pembuatan makanan alami khusus untuk anak berkebutuhan khusus. Ada kemplang, abon dan tepung ubi yang dihasilkan.
'Alhamdulillah walau pas-pasan bisa untuk ongkos terapi dan biaya si sulung yang kini sedang kuliah," ujar Camelia dengan sikap tegar.
Baca juga: Sebelum Mati Saya Ingin Melihat Anak Autis Bisa Mandiri
Raut kesedihan sesekali melintas saat Camelia mengenang masa-masa awal menjalani sendiri tanggungjawab membesarkan anak.
Namun seiring perjalanan waktu, anak-anaknya terus bersekolah. Meskipun harus banting tulang, peras keringat, Camelia tak mau menyerah.
Senyum bahagianya muncul saat melihat si bungsu bisa memotong ikan sendiri. Kemudian membantunya mengolah menjadi abon.
"Dulunya Andri sering berperilaku hiperaktif. Bahkan cenderung menyakiti diri sendiri. Sekarang mulai terkendali dan bisa merangkai kata," ujar Camelia.
Bekas luka di pergelangan tangan Andri masih terlihat jelas. Dulunya ia suka menggit tangan hingga terluka jika kehendaknya tidak terpenuhi.
Andri juga kerap berlarian tak tentu arah, bahkan hingga ke jalan raya.
Kondisi demikian semakin memperdalam kekhawatiran Camelia, sebagai seorang ibu yang telah mengandung dan melahirkan anaknya itu.
Baca juga: Kisah Ariel, Bocah Penyandang Autis yang Ingin Naik Haji
Berbagai upaya pun dilakukan untuk membimbing Andri menuju kehidupan normalnya.
Salah satunya melalui terapi wicara. Camelia mendampingi anaknya dan tak bosan-bosannya terus saling berkomunikasi.
Berbagai alat peraga seperti gambar, menjadi media komunikasi ibu dan anak itu.
Sampai suatu saat ketika berumur 10 tahun Andri bisa mengucapkan kata "mama". Selanjutnya Ia mulai mampu mengeja namanya sendiri.
"Karena memang anak berkebutuhan khusus, jadi tak bisa dilepaskan. Sehari saja tak didampingi, apa yang diketahuinya bisa hilang lagi," beber Camelia.
Dia pun berharap, Andri bisa mendapatkan kehidupan normalnya dan melakoni usaha mandiri.