Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

BNPB Kewalahan Padamkan Api, Kebakaran Meluas Kabut Asap Semakin Parah

Kompas.com - 16/09/2019, 12:16 WIB
Rachmawati

Editor

"Belum, masih dipersiapkan dan lihat perkembangan. Kalau dari mereka protes, ya kita jawab."

Menurut Jati, asap karhutla tidak hanya berasal dari Indonesia tapi juga Malaysia, kendati diakuinya tidak sebesar Indonesia.

"Tapi di negara mereka ada titik api dan kebakaran di Semenanjung Malaya juga Serawak ada hotspot terpantau."

Baca juga: Lahan 26 Perusahaan Sawit di Kalbar Disegel Terkait Karhutla, Ini Daftarnya

Malaysia sebelumnya menyebut terkena dampak asap dengan kualitas udara di sejumlah negara bagian termasuk Kuala Lumpur menjadi tidak sehat selama beberapa hari terakhir.

Sedangkan di Singapura, perlombaan Formula 1 terancam batal. Badan Lingkungan Hidup Singapura (NEA) menyatakan, Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) di Singapura semakin memburuk, dan sudah mencapai angka 112 atau kategori tidak sehat di beberapa daerah pada Sabtu malam.

Baca juga: 5 Fakta Dampak Kabut Asap Karhutla, Udara Tak Sehat hingga Menyiksa Rakyat


Pemerintah tak usah malu minta bantuan

Petugas gabungan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pekanbaru, Kodim 0301 Pekanbaru dan Masyarakat Peduli Api (MPA) berusaha memadamkan kebakaran lahan gambut di Pekanbaru, Riau, Sabtu (7/9/2019). Kebakaran lahan gambut yang masih terus terjadi membuat Kota Pekanbaru dan sejumlah kabupaten lainnya di Provinsi Riau kembali terpapar kabut asap.ANTARA FOTO/RONY MUHARRMAN Petugas gabungan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pekanbaru, Kodim 0301 Pekanbaru dan Masyarakat Peduli Api (MPA) berusaha memadamkan kebakaran lahan gambut di Pekanbaru, Riau, Sabtu (7/9/2019). Kebakaran lahan gambut yang masih terus terjadi membuat Kota Pekanbaru dan sejumlah kabupaten lainnya di Provinsi Riau kembali terpapar kabut asap.
Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Henri Subagiyo, menyarankan agar pemerintah berhenti berpolemik tentang kabut asap antarnegara. Sebab hal itu hanya akan memperburuk citra Indonesia di mata internasional.

"Kita harusnya ambil tanggung jawab dan kalau mau tegas, ya tegas. Misalnya ada lima perusahaan Malaysia dan Singapura, oke lah diumumkan ke publik, tapi pemerintah punya tanggung jawab untuk mengawasi dan kalau melanggar jatuhkan sanksi," jelas Henri.

"Jadi jangan digeser ke isu antarnegara. Karena perusahaan-perusahaan itu beroperasi di Indonesia atas izin pemerintah juga kan," sambungnya.

Justru, kata dia, karena kondisi dampak asap kebakaran hutan dan lahan ini sudah "sangat parah", Henri menyarankan pemerintah untuk tak malu meminta bantuan negara lain.

Baca juga: Sumsel Minta Tambahan Helikopter Pengebom Air untuk Atasi Karhutla

Baginya yang terpenting adalah keselamatan warga.

"Ini sudah isu kemanusiaan dan ini menurut saya sih pemerintah bisa mengkalkulasi itu dan kalau butuh (bantuan) nggak usah malu-malu. Jangan sampai terulang lagi lah tragedi tahun 2015," tukasnya.

"Beberapa hari ini sudah parah banget. Ini soal keselamatan orang, dampak terhadap manusia sudah jelas gitu kok."

Henri juga menilai, meluasnya kebakaran hutan dan lahan tahun ini terjadi kembali karena lemahnya pengawasan pemerintah pusat dan daerah terhadap para pemilik konsesi.

"Kalau saya lihat, yang nggak kelihatan itu isu soal penataan atau pengawasan terhadap izin. Bagaimana review atau audit izin jadi penting. Itu yang selama ini nggak terlihat kentara."

Baca juga: Atasi Karhutla di Riau, Pemerintah Siagakan 3 Pesawat untuk Hujan Buatan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com