Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

BNPB Kewalahan Padamkan Api, Kebakaran Meluas Kabut Asap Semakin Parah

Kompas.com - 16/09/2019, 12:16 WIB
Rachmawati

Editor

Setidaknya sudah 11.654 pasien yang datang ke puskesmas di seluruh kabupaten dan kota dengan mayoritas gejala infeksi saluran pernapasan atas atau ISPA. Karena itu, kaya Yohanes, pihaknya membagikan setidaknya satu juta masker hijau ke masyarakat.

"Jadi keluhannya ada pneumonia dan ISPA. Tapi kebanyakan ISPA. Kami juga bagikan masker biasa, bukan N95, karena masker itu sirkulasi udaranya tidak cocok untuk situasi begini. Kalau digunakan 5-10 menit, akan sesak," jelasnya.

Dia juga menegaskan, semua biaya pengobatan akibat asap kebakaran hutan dan lahan ini ditanggung pemerintah.

Baca juga: Korban Asap ke Posko Kesehatan Kian Banyak, Obat-obatan Menipis


Peralatan pemadaman tidak cukup, tapi pemerintah belum minta bantuan

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut sejak Januari hingga Agustus tahun ini luas lahan yang terbakar mencapai 328.724 hektar. Setidaknya ada enam provinsi termasuk kategori parah kebakaran lahan yakni Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan.

Untuk memadamkan kebakaran itu, Kepolisian mengirim lima ribu personel. Sementara BNPB mengerahkan 32 helikopter water bombing dan 10 helikopter patroli. Meski, menurut Juru bicaranya, Agus Wibowo, masih kurang.

"Enggak cukup, kurang lah. Lahan yang terbakar itu kan luas sekali dan banyak lokasi-lokasi (yang hendak dipadamkan) dengan water bombing enggak bisa langsung padam. Karena kebakarannya besar," jelasnya.

"Jadi memang kami berusaha mencegah jangan sampai merembet. Jadi mengurangi," sambungnya.

Baca juga: Kabut Asap Menebal, Penerbangan Lokal di Lingga, Riau, Dibatalkan

Karena jumlah helikopter yang terbatas itu proses pemadaman, kata dia, "perlu waktu lama".

"Intinya kebakaran sangat luas, jadi berat memadamkannya," tukasnya.

Helikopter water bombing itu, kata Agus Wibowo, disebar ke enam provinsi. Terbanyak dikerahkan ke provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah. Selain itu, ada juga pesawat Hercules milik TNI yang digunakan untuk penyemaian hujan buatan. Kendati, pergerakan awan masih belum terlihat.

Namun demikian, pemerintah belum meminta bantuan dari negara lain. Juru bicara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Jati Witjaksono, mengatakan pemerintah menjaga harkat dan martabat negara.

"Semua sudah gerak. Nanti kalau kita minta bantuan, kita dilecehkan lagi, 'ah gitu aja minta bantuan...'. Makanya kita menjaga harkat dan martabat negara kita. Kita kan malu kalau minta bantuan negara lain," ujarnya kepada BBC News Indonesia.

Baca juga: Pemprov Riau Buka 14 Posko Bagi Korban Asap Pekanbaru, Ini Daftarnya

Petugas Ditjen Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berjalan usai menyegel lahan perusahaan asal Malaysia PT Adei Plantation and Industry di Kabupaten Pelalawan, Riau, Jumat (13/9/2019). dok BBC Indonesia Petugas Ditjen Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berjalan usai menyegel lahan perusahaan asal Malaysia PT Adei Plantation and Industry di Kabupaten Pelalawan, Riau, Jumat (13/9/2019).

Catatan KLHK, hingga saat ini sudah 42 perusahaan yang disegel konsesinya untuk diteliti dan diselidiki terkait dugaan kebakaran hutan dan lahan. Dari angka itu, lima di antaranya milik perusahaan asing asal Singapura dan Malaysia. Akan tetapi pihaknya, kata Jati, pihaknya tidak bisa mempublikasikan nama-nama perusahaan tersebut.

"Itu kan informasi yang dikecualikan. Karena belum keputusan pengadilan, masih penyelidikan. Kalau dibuka, nanti kabur semua," tuturnya.

Sementara terkait rencana pemerintah mengirim surat protes ke Duta Besar Malaysia karena menuding Indonesia sebagai penyebab tunggal munculnya asap di negara itu, belum ada tindak lanjut.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com