Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

BNPB Kewalahan Padamkan Api, Kebakaran Meluas Kabut Asap Semakin Parah

Kompas.com - 16/09/2019, 12:16 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Pemerintah disarankan segera menangani dampak kebakaran hutan dan lahan yang semakin parah. Di sisi lain, BNPB mengaku kewalahan lantaran peralatan yang dimiliki tak cukup mumpuni memadamkan api dengan cepat.

Warga di Pekanbaru, Riau dan Palangkaraya, Kalimantan Tengah, menyebut kabut asap yang mengepung sekitar rumah mereka hari-hari ini hampir menyerupai kondisi terparah dampak kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan empat tahun silam atau pada 2015.

Lilis Alice, seorang warga Palangkaraya, bercerita terpaksa menutup semua ventilasi udara rumahnya dengan karton sejak awal September lalu. Gara-garanya, asap sudah tak bisa dibendung.

Baca juga: Kabut Asap di Palangkaraya Semakin Pekat, Sekolah Diliburkan

Kata dia, lantai rumahnya menjadi licin dan agak berminyak. Gorden yang tadinya berwarna putih, berubah jadi kecoklatan. Agar udara tidak pengap, ia mengandalkan kipas angin.

"Sudah dua minggu sudah tidak buka jendela dan pintu. Asap ini sudah masuk ke rumah," ujarnya kesal ketika dihubungi BBC News Indonesia, Minggu (15/9/2019).

"Kalau pagi, kayak tinggal di negeri di atas awan. Gelap-gelapan. Jadi kalau di dalam rumah, saya nyalakan lampu, saking gelapnya," sambungnya.

Baca juga: Dampak Kabut Asap, Puluhan Ribu Warga Terserang ISPA hingga Warga Salat Minta Hujan

Seorang ibu dan anaknya mengenakan masker medis saat asap kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) menyelimuti Kota Pekanbaru, Riau, Selasa (10/9/2019). dok BBC Indonesia Seorang ibu dan anaknya mengenakan masker medis saat asap kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) menyelimuti Kota Pekanbaru, Riau, Selasa (10/9/2019).

Pantauan Lilis, jarak pandang di Palangkaraya hanya 200 meter. Parahnya, udara mulai menguning tanda sudah sangat buruk. Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) di Palangka Raya merujuk data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tertanggal 15 September pukul 15.00 WITA, termasuk kriteria berbahaya.

Gara-gara asap pula, ia harus bolak-balik ke rumah sakit karena sakit tenggorokan. Dokter mengatakan, sakitnya itu karena menghirup asap.

"Masyarakat kan keluhan di sini mata pedas, tenggorokan sakit, badan terasa nggak enak. Kalau saya ke dokter dua kali. Sempat sembuh, tapi kena lagi," tukasnya.

"Ini kayaknya sama seperti tahun 2015."

Baca juga: Posko Kesehatan dan Call Center Disiagakan untuk Korban Kabut Asap Riau

Senada dengan Lilis, warga Pekanbaru, Ilham juga mengatakan begitu. Menurutnya buruknya udara menyerupai kondisi empat tahun silam; udara menguning dan bau asap pekat.

"Aroma (asap) sudah tajam tercium. Tajam banget. Sama kayak tahun 2015," ujarnya geram saat dihubungi BBC News Indonesia.

Ilham juga menutup ventilasi udara rumahnya dengan plastik, agar asap tak masuk ke rumah. Untungnya ia punya alat pembersih udara dan AC, dengan begitu setidaknya bernapas lebih lelusa. Tapi istrinya kena iritasi kulit.

"Jadi istriku, nggak pernah kena iritasi sama asap selama ini. Tapi di kulit mukanya merah-merah dan bentol juga mengelupas. Saat dibawa ke IGD, ternyata penyebabnya iritasi asap," jelas Ilham kepada BBC News Indonesia.

Baca juga: Ini Penyebab Bayi 4 Bulan di Sumsel Meninggal, Sesak Napas Diduga Terpapar Kabut Asap

Seorang warga yang mengenakan masker melintas di dekat papan Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) di Kota Pekanbaru, Riau, Selasa (10/9/2019). Dinas Lingkungan Hidup Kota Pekanbaru menyatakan kualitas udara menurun jadi tidak sehat akibat tercemar asap kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). dok BBC Indonesia Seorang warga yang mengenakan masker melintas di dekat papan Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) di Kota Pekanbaru, Riau, Selasa (10/9/2019). Dinas Lingkungan Hidup Kota Pekanbaru menyatakan kualitas udara menurun jadi tidak sehat akibat tercemar asap kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).

Pelaksana Harian Kepala Dinas Kesehatan Riau, Yohanes, mengatakan sejak akhir Agustus lalu Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) di wilayahnya turun-naik di angka 400 atau termasuk kategori berbahaya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com