Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rencana Jokowi Jual Lahan di Ibu Kota Negara, Pemerintah Disebut Seperti "Broker"

Kompas.com - 07/09/2019, 17:17 WIB
Zakarias Demon Daton,
Khairina

Tim Redaksi

SAMARINDA, KOMPAS.com - Rencana pemerintah menjual lahan di sekitar ibu kota negara seluas 30.000 hektar untuk swasta mengundang beragam tanggapan.

Sebagian pihak mendukung rencana ini, termasuk Bupati Penajam Paser Utara (PPU) Abdul Gafur Masud.

Tetapi, sebagian lain justru mengkritik. Para pengkritik menilai rencana tersebut menunjukkan ketidaksiapan pemerintah dari sisi pembiayaan.

Baca juga: Bupati Penajam Paser Utara Dukung Rencana Presiden Jual 30.000 Hektar Lahan di Ibu Kota Baru

Dosen Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Mulawarman di Samarinda Lutfi Wahyudi mengatakan, rencana penjualan tanah mengkonfirmasi seolah pemerintah tak siap dari sisi pembiayaan dan seakan jadi "broker" tanah.

Apalagi lahan ibu kota adalah aset negara.

"Hal yang perlu diwaspadai adalah penjualan tanah itu. Saya sendiri sebenarnya tidak sependapat. Kenapa, karena pemerintah seolah menjadi "broker" tanah," ungkap Lutfi Wahyudi, Sabtu (7/9/2019) di Samarinda.

Rencana penjualan tanah itu disampaikan Jokowi dalam skema pembiayaan ibu kota negara yang dipindahkan ke sebagian wilayah Kutai Kartanegara dan PPU di Kalimantan Timur.

Jokowi menyebut salah satu cara dengan menjual 30.000 lahan di sekitar lokasi ibu kota di jual ke masyarakat khusus individu bukan koorporasi. Para pembeli diprioritaskan milenial.

Baca juga: Jokowi Sebut Masyarakat Bisa Beli Lahan di Ibu Kota Baru, Harganya?

Dengan begitu, asumsi pendapatan negara bisa mencapai Rp 600 triliun jika dijual dengan kisaran harga Rp 2 juta per meter. Dana ini digunakan untuk menopang pembangunan ibu kota negara.

Namun, pembelian tanah itu harus disertakan pembangunan minimal dua tahun setelah membeli.

Jika lewat batas dua tahun, negara mengambil alih tanah melalui badan otoritas sebagai pemegang otoritas di ibu kota baru.

Menurut Lutfi, ada kekhawatiran lahan tersebut hanya dibeli oleh masyarakat kelas menengah atas yang memiliki uang. Sedang masyarakat ekonomi ke bawah tak akan mampu.

Selain itu, Lutfi juga mengkhawatirkan pembangunan ibu kota baru menggunakan dana investasi dalam jangka waktu tertentu.

"Ketika jatuh tempo, bisa diperkirakan, misalnya pemerintah tidak sanggup membayar, maka bisa jadi di sana akan muncul tekanan- tekanan dari pihak yang melakukan investasi tersebut," jelasnya.

Jika terjadi demikian, dampaknya yang dirugikan ekonomi Indonesia dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com