Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ibu Kota Baru Indonesia, Kekhawatiran Tersingkirnya Warga Dayak Paser dari Wilayah Adat

Kompas.com - 07/09/2019, 08:52 WIB
Rachmawati

Editor

"Broker jual-beli tanah tanpa sepengetahuan lembaga adat. Cukong membawa preman," kata Rijal.

"Saya harap lembaga adat dilibatkan untuk menghindari selisih paham, karena tidak banyak yang tahu seluk beluk pertanahan."

Baca juga: Begini Infrastruktur di Penajam Paser Utara, Lokasi Ibu Kota Baru

Pertanyaannya kini, bagaimana komitmen pemerintah pada warga Dayak Paser?

Pasal 67 ayat 2 dalam beleid kehutanan nomor 41 tahun 1999 menyatakan, pengakuan masyarakat hukum adat ditetapkan melalui peraturan daerah.

Regulasi yang dibuat kepala daerah itu merupakan salah satu syarat penetapan hutan adat oleh menteri lingkungan hidup dan kehutanan.

Bupati Penajam Paser Utara, Abdul Gafur Mas'ud, mengklaim bakal melindungi wilayah yang ditinggali warga Dayak Paser. Namun ia tak menyebut komitmen itu akan disahkan hitam di atas putih.

"Hutan akan kami jaga, tapi hutan yang mana dulu, kami akan lihat peta. Jangan sampai ada oknum mengatakan hutan adat, tapi hanya membawa kepentingan pribadi," ujarnya kepada BBC News Indonesia.

Baca juga: Sebelum Dipilih Jadi Ibu Kota, Penajam Paser Utara Disebut Tertinggal dan Dianaktirikan

"Jangan sampai ada yang mengklaim, ternyata itu lahan orang lain atau milik negara," kata Abdul.

Abdul mengklaim, dalam waktu dekat ia akan membangun hutan kota untuk memfasilitasi penghidupan warga Dayak Paser.

"Hutan kota akan jadi lahan adat. Hutan kota sangat bermanfaat apalagi di sini ada akar bajaka yang bisa jadi pengobatan gratis," tuturnya.

Baca juga: Penajam Paser Utara Jadi Ibu Kota Baru, Ini Strategi Cegah Spekulan Tanah

Berkebun merupakan mata pencaharian sebagian besar penduduk di wilayah ibu kota baru. dok BBC Indonesia Berkebun merupakan mata pencaharian sebagian besar penduduk di wilayah ibu kota baru.

Bappenas menyebut ibu kota baru di Sepaku dan Samboja akan seluas 180 ribu hektare. Lahan sebesar 2000-5000 hektare diproyeksikan menjadi inti kota.

Deputi Pengembangan Regional Bappenas, Rudy Prawiradinata, mengklaim mayoritas lahan ibu kota baru itu milik negara dan tak bakal bermasalah dengan pihak manapun.

"Lahan 180 ribu hektare itu sebagian besar tanah negara, sebagian ada yang berstatus area penggunaan lain. Itu pun yang ternyata tidak ada sertifikatnya," kata Rudy.

Kalaupun masyarakat Dayak Paser belakangan mengklaim sebagian lahan ibu kota baru itu sebagai wilayah adat, Rudy menyebut pemerintah tak akan menutup mata dan telinga.

"Kami berkomitmen pada hutan lindung. Bukit Soeharto akan kami kembalikan fungsinya karena penggunaannya tidak betul, apalagi yang milik masyarakat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com