Warisan Sejarah Perebutan Kue Pembangunan Transportasi Kereta Api (BAGIAN III - Habis)

DALAM artikel saya ini, sebenarnya saya ingin menampilkan tiga simbol persaingan dan pertikaian besar dalam sejarah transportasi kereta api di Jawa di pertenghan abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20. Itu terjadi hampir 150 tahun lalu.

Simbol persaingan gengsi ini ditampilkan Lawang Sewu Semarang (kantor pusat NISM), Gedung Birao atau Kantor Pusat SCS Tegal dan kantor pusat SS di Bandung (kini jadi kantor pusat PT KAI Persero).

Banyak orang bercerita tentang mistis atau “pengalaman bertemu orang yang hidup dari puluhan tahun lalu” dari ketiga bangunan megah itu. Tapi apa makna dari sejarahnya?

Tulisan ini merupakan tulisan ketiga atau terakhir dari serial tulisan. Simak seri tulisan lainnya:
Kisah Marta, “Ciblek Lawang Sewu” (BAGIAN I)

Baca juga: Dari Lawang Sewu hingga Gedung Birao Tegal, Jejak Persaingan Bisnis Transportasi Kereta Api (BAGIAN II)

Persaingan merebut roti keuntungan ekonomi, bisa dilihat antara lain pembangunan rel kereta api Jakarta - Bogor, sepanjang 56 kilometer, tahun 1869 - 1873. Izin atau konsesi pembangunan jalur rel kereta api diperoleh NISM tahun 1864.

Tapi pembangunan baru dimulai tahun 1869 atau lima tahun setelah izin diberikan oleh pemerintah kepada perusahaan swasta itu. Ini terjadi karena NISM ingin membangun rel kereta lebar sepur 1435 milimeter (mm). Sedangkan pemerintah kolonial Belanda ingin 1067 mm.

NISM bermaksud ingin memonopoli angkutan hasil perkebunan wilayah tersebut, terutama teh dan karet. Selain itu NISM punya rancangan agar jalur ini bisa tersambung dengan jalur NISM lainnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sehingga monopoli makin sempurna.

Sementara pemerintah yang diwakili SS ingin jalur ini bisa bersambung dengan jalurnya, Bogor - Bandung - Cicalengka kemudian ke Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Pertikaian ini dimenangkan pemerintah. Kemudian jalur ini diambil oleh SS tanggal 1 November 1913. Jalur ini juga penting karena ada istana gubernur jenderal di Bogor (Buitenzorg).

Orang Perancis bilang, l’histoire se repete, sejarah berulang.

Tahun 2016 di Jakarta dibangun LRT (light rail transit atau lintas rel terpadu atau sistem kereta api ringan). Saat itu terjadi selisih keinginan antara Gubernur DKI Jakarta saat itu Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama dan Menteri Perhubungan waktu itu Ignatius Jonan.

Ahok ingin rel berukuran 1435 mm seperti yang diinginkan NISM 150 tahun lalu. Jonan ingin ukuran rel 1067 mm seperti yang diminta pemerintah Belanda 150 tahun lalu.

Ahok juga menolak keputusan Jonan agar operator proyek LRT adalah PT KAI Pesero. Ahok membawa kasus ini ke Menteri BUMN dan ke Presiden. Muncul keputusan ukuran rel 1435 dan operatornya PT Adhi Karya Tbk. Kini proses pembangunan masih berjalan.

Menjelang akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20 seluruh Pulau Jawa telah dililit rel kereta api dan tram. Tapi lintas utara Jakarta - Surabaya terputus di Semarang. Antara Stasiun Semarang Poncol (milik SCS) dan Semarang Tawang (milik NSM) belum tersambung selama puluhan tahun.

Baru tahun 1940, ketika ada ancaman perang, kedua stasiun itu tersambung. Hal yang hampir sama di jalur selatan, Surabaya - Jakarta lewat Solo dan Yogyakarta. Dari arah timur untuk masuk Solo, SS atau perusahaan kereta api lainnya harus menyelesaikan urusan dengan NISM dulu.

Juga demikian dari arah barat yang mau masuk ke Stasiun Lempuyangaan (milik NISM), arus berurusan dengan NISM. Di Yogyakarta NISM punya stasiun Lempuyangan dan SS punya Stasiun Tugu.

Tumpang tindih dan kesemerawutan sistem transportasi kereta api adalah salah satu warisan sejarah bagi Indonesia. Indonesia masih dalam proses membangun LRT dan MRT (Mass Rapid Transit).

Pelaku pembangunan LRT daan sistem Kereta api cepat atau MRT Jakarta - Bandung atau Jakarta- Surabaya mungkin perlu membaca sejarah 100 atau 150 tahun lalu.

Buku dan Monumen Bung Karno

Tapi sampai saat ini belum ada buku sejarah kereta api yang komprehensif. Sementara ini baru ada guntingan-guntingan sejarah yang ditumpuk diberi foto-foto dan kulit buku (hardcover) mewah untuk diluncurkan dalam seremoni-seremoni ulang tahun.

Banyak pula sekarang plakat seperti buku pariwisata kereta api yang menjual sejarah. Tapi itu baru plakat. Ada pula tumpukan guntingan sejarah kereta api setebal bantal dengan kulit buku mewah, tapi masih untuk kepentingan kalangan sendiri.

Sebagian besar toko buku di Indonesia kini tidak menjual buku tentang kereta api. Di acara peluncuran buku tentang kereta api dan sejarahnya sering diadakan pembagian secara gratis.

Hal ini membuat penerima buku tidak punya sense of belonging terhadap buku itu. Ini membuat orang malas membaca buku tentang kereta api. Sampai kini belum pernah ada acara diskusi atau bedah buku tentang kereta api.

Bali, Bandung (Jawa Barat), Surabaya dan Sulawesi baru merencanakan pembangunan sistem kereta api atau sejenisnya.

Sementara walau sudah mengumumkan menjual kereta api ke beberapa negara, seperti ke Banglades, PT Industri Kereta Api (INKA), masih terseok-seok menghasilkan produknya untuk menyaingi China, Jepang dan Korea Selatan.

Sementara itu Kementrian Perhubungan kini banyak membangun stasiun baru, stasiun di bandar udara dan seterusnya. Di sini kalau dilihat dari dekat masih banyak masalah seperti terjadi 100 tahun lalu.

Para pelaku ini tetap disarankan untuk belajar sejarah, karena seperti kata almarhum P Swantoro, wartawan senior harian Kompas, “dalam sejarah ada masa depan”.

Saat ini direksi PT Kereta Api (KAI) Pesero telah membuat lebih dari 500 stasiun kereta api di Jawa nampak berkilau karena lantainya mengkilat, dan banyak dihiasi lampu warna-warni. Ini antara lain membuat penumpang kereta api di Indonesia tahun 2019 ini (sampai Juli), mencapai 425 juta orang.

Sukses ini terjadi karena jalan-jalan tol yang dibangun belum bisa membuat Pulau Jawa tidak macet oleh kendaraan mobil. Bahkan di wilayah tertentu jalan tol sebagai penyebab banjir di musim hujan.

Sampai kini dana perawatan dan operasional (IMO atau infrastructur maintenance and operation) dan dana untuk PSO (public service obligation atau kewajiban pelayanan publik) dirasakan oleh pihak PT KAI Persero jauh dari mencukupi dan tersendat-sendat pengucurannya. Dalam hal ini masih terjadi silang pandangan antara Kementerian Perhubungan dengan PT KAI Persero.

PT KAI Persero akan meresmikan berdirinya Patung Bung Karno di Semarang Tawang dan di Blitar. Ini penting, karena Proklamator RI itu pernah bekerja sebagai pegawai kereta api di Stasiun Gubung Surabaya (1921 -1922).

Tapi lebih penting melakukan apa yang pernah diserukannya, "jangan sekali-kali meninggalkan sejarah".

Renungkanlah arti Lawang Sewu, Gedung SCS Tegal, dan kantor pusat KAI Bandung. Di sana saat ini masih dilihat sebagai tempat angker, tempat “hantu” para penjajah Belanda bergentayangan.

Padahal, di sana ada sejarah untuk tempat melihat dan belajar hal baik dan buruk dari masa lalu demi pendewasaan diri di masa kini dan mendatang.