Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Joseph Osdar
Kolumnis

Mantan wartawan harian Kompas. Kolumnis 

Warisan Sejarah Perebutan Kue Pembangunan Transportasi Kereta Api (BAGIAN III - Habis)

Kompas.com - 07/09/2019, 08:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DALAM artikel saya ini, sebenarnya saya ingin menampilkan tiga simbol persaingan dan pertikaian besar dalam sejarah transportasi kereta api di Jawa di pertenghan abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20. Itu terjadi hampir 150 tahun lalu.

Simbol persaingan gengsi ini ditampilkan Lawang Sewu Semarang (kantor pusat NISM), Gedung Birao atau Kantor Pusat SCS Tegal dan kantor pusat SS di Bandung (kini jadi kantor pusat PT KAI Persero).

Banyak orang bercerita tentang mistis atau “pengalaman bertemu orang yang hidup dari puluhan tahun lalu” dari ketiga bangunan megah itu. Tapi apa makna dari sejarahnya?

Tulisan ini merupakan tulisan ketiga atau terakhir dari serial tulisan. Simak seri tulisan lainnya:
Kisah Marta, “Ciblek Lawang Sewu” (BAGIAN I)

Baca juga: Dari Lawang Sewu hingga Gedung Birao Tegal, Jejak Persaingan Bisnis Transportasi Kereta Api (BAGIAN II)

Persaingan merebut roti keuntungan ekonomi, bisa dilihat antara lain pembangunan rel kereta api Jakarta - Bogor, sepanjang 56 kilometer, tahun 1869 - 1873. Izin atau konsesi pembangunan jalur rel kereta api diperoleh NISM tahun 1864.

Tapi pembangunan baru dimulai tahun 1869 atau lima tahun setelah izin diberikan oleh pemerintah kepada perusahaan swasta itu. Ini terjadi karena NISM ingin membangun rel kereta lebar sepur 1435 milimeter (mm). Sedangkan pemerintah kolonial Belanda ingin 1067 mm.

NISM bermaksud ingin memonopoli angkutan hasil perkebunan wilayah tersebut, terutama teh dan karet. Selain itu NISM punya rancangan agar jalur ini bisa tersambung dengan jalur NISM lainnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sehingga monopoli makin sempurna.

Sementara pemerintah yang diwakili SS ingin jalur ini bisa bersambung dengan jalurnya, Bogor - Bandung - Cicalengka kemudian ke Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Pertikaian ini dimenangkan pemerintah. Kemudian jalur ini diambil oleh SS tanggal 1 November 1913. Jalur ini juga penting karena ada istana gubernur jenderal di Bogor (Buitenzorg).

Orang Perancis bilang, l’histoire se repete, sejarah berulang.

Tahun 2016 di Jakarta dibangun LRT (light rail transit atau lintas rel terpadu atau sistem kereta api ringan). Saat itu terjadi selisih keinginan antara Gubernur DKI Jakarta saat itu Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama dan Menteri Perhubungan waktu itu Ignatius Jonan.

Ahok ingin rel berukuran 1435 mm seperti yang diinginkan NISM 150 tahun lalu. Jonan ingin ukuran rel 1067 mm seperti yang diminta pemerintah Belanda 150 tahun lalu.

Ahok juga menolak keputusan Jonan agar operator proyek LRT adalah PT KAI Pesero. Ahok membawa kasus ini ke Menteri BUMN dan ke Presiden. Muncul keputusan ukuran rel 1435 dan operatornya PT Adhi Karya Tbk. Kini proses pembangunan masih berjalan.

Menjelang akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20 seluruh Pulau Jawa telah dililit rel kereta api dan tram. Tapi lintas utara Jakarta - Surabaya terputus di Semarang. Antara Stasiun Semarang Poncol (milik SCS) dan Semarang Tawang (milik NSM) belum tersambung selama puluhan tahun.

Baru tahun 1940, ketika ada ancaman perang, kedua stasiun itu tersambung. Hal yang hampir sama di jalur selatan, Surabaya - Jakarta lewat Solo dan Yogyakarta. Dari arah timur untuk masuk Solo, SS atau perusahaan kereta api lainnya harus menyelesaikan urusan dengan NISM dulu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com