Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Joseph Osdar
Kolumnis

Mantan wartawan harian Kompas. Kolumnis 

Dari Lawang Sewu hingga Gedung Birao Tegal, Jejak Persaingan Bisnis Transportasi Kereta Api (BAGIAN II)

Kompas.com - 06/09/2019, 08:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

LAWANG SEWU menjadi objek wisata yang kini banyak menarik perhatian turis dalam negeri berkat penanganan PT KAI bekerjasama dengan Pemerintah Jawa Tengah dan kota Semarang serta pihak-pihak terkait.

Koordinasi pengelolaan Lawang Sewu antara pihak-pihak terkait cukup bagus, walau masih jauh dari memuaskan. Tidak mudah, seperti tidak mudahnya puluhaan perusahaan kereta api swasta Belanda berkoordinasi di masa pemerintahan Kerajaan Belanda di Indonesia 150 tahun lalu.

Kesemrawutan di masa penjajahan Belanda itu juga bagian dari pewarisan budaya untuk masa kini.

Tulisan ini bagian kedua, baca juga bagian pertama dari tulisan ini: Kisah Marta, “Ciblek Lawang Sewu” (BAGIAN I)

Baca juga: Warisan Sejarah Perebutan Kue Pembangunan Transportasi Kereta Api (BAGIAN III - Habis)

Lawang Sewu didirikan mengikuti kesuksesan NISM membangun sistem trasportasi kereta api. Sukses NISM membuat banyak pihak, termasuk Pemerintah Kerajaan Belanda, mendirikan perusahaan kereta api di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi Selatan.

Setelah belasan perusahaan kereta api dan trem Belanda bermunculan di Jawa terjadilah persaingan. Muncul adu gengsi, selain berebut roti ekonomi (dari produk hasil bumi dan tambang) di antara para pengusaha swasta dan tentu pemerintah.

Pemerintah Belanda, tahun 1875 mendirikan perusahaan kereta api Staatspoorwegen (SS). SS berdiri 10 tahun setelah NISM mencapai kesuksesan membangun sistem transportasi kereta api dan mengeruk keuntungan hasil bumi (termasuk minyak bumi dan bahan bangunan) di Jawa .

Dibandingkan dengan bangunan istana-istana untuk para gubernur jenderal Belanda di Indonesia (Istana Negara, Istana Merdeka, dan Istana Bogor), Lawang Sewu nampak jauh lebih mentereng.

Beberapa tahun kemudian, perusahaan kereta api swasta Belanda lainnya, de Semarang - Cheribon Stoomtram Maatschappij (SCS), mendirikan kantor pusatnya di kota Tegal. Kantor pusat SCS berlantai empat ini juga sering disebut Gedung Birao Tegal.

Gedung SCS juga sudah ditetapkan sebagai situs budaya. Untuk mengundang para turis luar negeri, pengelola gedung ini, PT Kereta Api Indonesia (Pesero) masih perlu berjuang atau berfikir keras tentang bagaimana caranya melakukan hal itu.

“Sampai sekarang para pengunjung Kantor SCS ini adalah para pejabat pemerintah, direksi PT KAI dan keluarga pegawai KAI,” ujar Kepala Stasiun Tegal Tarmudi.

Seorang menteri ketika datang ke tempat ini hanya bisa bilang ornamen gedung ini mengagumkan dan memesona. Tapi untuk membuat gedung itu dikelola sehingga menjadi objek turis yang dikerumuni turis luar negeri sampai seperti cendol, masih jauh dari kenyataan.

Kantor SCS yang angker

Jumat jam 11 siang, 30 Agustus 2019 lalu, saya datang ke Stasiun Kereta Api Tegal, Jawa Tengah. Saat itu saya dalam perjalanan dari Semarang ke Jakarta.

Sehari sebelumnya, saya mengikuti perjalanan peninjauan yang dipimpin Direktur Utama Kereta Api Persero, Edi Sukmoro dari Jakarta- Bandung, Yogyakarta , Solo dan Semarang.

Perjalanan ini selain untuk menemui para pegawai dari tingkat menengah ke bawah sampai para pegawai rendah di stasiun maupun yang sedang memeriksa rel maupun jembatan kereta api.

Stasiun Tegal dibangun oleh salah satu perusahaan kereta api swasta Belanda, Java Spoorweg Maatschappij (JSM) mulai tahun 1885 dan diresmikan 17 November 1886. JSM termasuk perusahaan kereta api swasta terbesar di Nusantara, setelah NISM dan SCS.

Sejak tahun 1873 hingga tahun 1945, di Indonesia terdapat sekitar 13 perusahaan kereta api swasta Belanda.

Pada 16 September 1895, Stasiun Tegal dibeli oleh SCS. Setelah membeli stasiun, sekitar enam tahun kemudian SCS merancang pembangunan kantor pusatnya di Tegal.

Kantor pusat SCS yang berjarak sekitar 150 meter depan Stasiun Tegal itu diresmikan pemakaiannya tahun 1913.

Sekitar empat menit saya berjalan kaki dari Stasiun Tegal ke Gedung SCS bersama beberapa pegawai PT KAI, antara lain Boim (Madrohim), Ayunda, Viena, Adriani, Tukiran, Aryuda, Edward, Erfan dan mantan wartawan istana Elvy Yusanti. Di lantai dua gedung ini ada “lift” barang dari masa gedung ini berdiri 100 tahun lalu.

Ketika masuk ke gedung megah yang menghadap selatan ini, para petugas keamanan dari PT KAI Persero yang berjaga di tempat tersebut lebih banyak bercerita tentang kisah-kisah misterius atau mistis.

Menurut Kepala Stasiun Tegal, Tarmudi, cerita mistis di Kantor SCS memang banyak berdasarkan pengalaman orang-orang yang pernah bermalam di situ.

“Suatu hari seorang anggota pimpinan KAI pernah mencoba bermalam di gedung ini, tapi beberapa jam kemudian minta pindah ke hotel. Beliau merasa ditarik-tarik oleh makhluk tak kelihatan,” ujar Tarmudi.

Tarmudi juga mengatakan, diperkirakan di bawah gedung SCS ini ada banker (bunker) menuju ke Pelabuhan Tegal. Tapi, kata Tarmudi, pintu turun untuk masuk ke dalam bunker itu sudah ditutup. “Antara kantor SCS dengan Pelabuhan Tegal berjarak sekitar tujuh kilometer,” ujar Tarmudi.

Seperti Jakarta, Cirebon, Semarang, Surabaya, Juwana, dan Cilacap adalah wilayah yang diincar perusahaan-perusahaan kereta api di masa kolonial. Karena kota-kota ini punya pelabuhan untuk ekspor berbagai hasil bumi dari Jawa, antara lain gula tebu, kayu jati, tembakau, pala, fuli, minyak, bahan bangunan, dan seterusnya.

Hasil bumi ini adalah sumber keuntungan yang menjadi 13 atau lebih perusahaan kereta api di masa kolonial Belanda menjadi penguasa di Nusantara. Persaingan gengsi mereka antara lain ditandai dengan gedung-gedung kantor pusat atau stasiun-stasiun kereta api.

Hampir separuh wilayah elite di kota-kota besar di Jawa sangat berkaitan dengan sejarah gerak-gerik 13 (mungkin lebih) perusahaan kereta api.

Simbol supremasi perusahaan kereta api Pemerintah Belanda, Staatsspoorwegen (SS), selain ditandai dengan kehadiran stasiun-stasiun besar dan megah, juga pemilihan kantor pusatnya di Bandung.

Tahun 1916, SS memindahkan kantor pusatnya dari Jakarta ke Bandung. Saat itu pemerintah kolonial memindahkan ibukotanya dari Jakarta ke Bandung untuk alasan keamanan dari sudut strategi militer.

SS menjadi perusahaan terpandang setelah berhasil membangun sistem transportasi kereta api dari Surabaya (Stasiun Gubeng), Bangil dan Pasuruan antara tahun 1875 hingga 1878.

Selanjutnya pembangunan ini dilanjutkan dengan lintas Bangil, Lawang, Singosari dan Malang. Lintas ini selesai tahun 1879 dan berlanjut lagi ke Blitar, Kediri, Kertosono, dan Madiun.

Dalam pada itu, SS juga membangun lintas Bogor lewat Bandung sampai di Cicalengka (1878 - 1884). SS membangun stasiun besar Bandung tahun 1882 dan dioperasikan tahun 1884. Stasiun ini tidak jauh dari kantor pusat SS yang mulai ditempati tahun 1916.

SS memilih sebuah gedung di tepi Sungai Cikapundung. Gedung ini terletak di Jalan Gereja (Sekarang Jalan Perintis Kemerdekaan Nomor 1).

Menurut prasasti yang tertempel di tembok depan kantor Direktur Utama PT KAI Persero saat ini, gedung pusat SS dibangun 1905. Kemudian gedung ini difungsikan sebagai tempat penginapan bernama “Villa Maria”.

Sumber sejarah lainnya mengatakan gedung ini pernah bernama Grand National Hotel. SS membangun bangker atau bunker untuk perlindungan menghadapi perang. Kini bunker itu menjadi tempat penyimpanan dokumen sejarah kereta api di Indonesia dan tentu bisa jadi objek wisata sejarah

Beberapa minggu, setelah proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, gedung ini diduduki oleh para pejuang Angkatan Muda Kereta Api (AMKA). Pendudukan ini diawali dengan pertikaian berdarah dengan tentara Jepang.

Untuk memperingati masa perjuangan ini didirikan monumen perjuangan di bawah pohon beringin di halaman gedung tersebut. (BERSAMBUNG)

Nantikan bagian ketiga (terakhir) tulisan ini, Kisah Marta, “ Ciblek Lawang Sewu”, besok Sabtu (7/9/2019) pukul 08.05.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com