Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kontroversi Kebiri Kimia, Keluarga Minta Terpidana Dirawat di RSJ hingga Kuasa Hukum Ajukan PK

Kompas.com - 28/08/2019, 12:16 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Keluarga terpidana kasus pemerkosaan sembilan anak yang dijatuhi hukuman kebiri kimia berharap agar anggota keluarganya, Muh Aris (20) dirawat di rumah sakit jiwa (RSJ).

Sobirin (33), kakak tertua Aris mengatakan sejak masih anak-anak, adik bungsunya itu menunjukkan indikasi gangguan jiwa.

Aris kecil sering dikucilkan karena dianggap berperilaku yang tak lazim, seperti suka berbicara sendiri baik saat di jalan atau saat di rumah.

"Kelakuannya seperti anak kecil. Di lingkungan sini dia dikucilkan, tapi dia tidak pernah mengamuk karena takut sama saya," kata Sobirin, Selasa (27/8/2019).

Aris merupakan anak keempat dari pasangan Abdus Syukur (50) dan Askinah. Askinah meninggal lima tahun lalu.

Kepada Kompas.com, Sobirin mengaku baru mengetahui adiknya dijatuhi hukuman 12 tahun penjara, denda Rp 100 juta, serta ditambah dengan hukuman kebiri kimia.

"Kasihan dia enggak tahu nanti akan bagaimana. Harapan saya sih dia bisa dirawat dan pikirannya dijernihkan. Kalau bisa dirawat di rumah sakit jiwa, supaya dia bisa normal," tuturnya.

Baca juga: Keluarga Berharap Pemerkosa 9 Anak Tidak Dihukum Kebiri Kimia, tapi Dirawat di RSJ

 

Kuasa hukum terpidana ajukan PK

Ilustrasi vonis kebiri, kebiri kimia, hukuman kebiri kimiaShutterstock Ilustrasi vonis kebiri, kebiri kimia, hukuman kebiri kimia
Handoyo, kuasa hukum Muh Aris mengatakan pihaknya berencana mengajukan peninjauan kembali ( PK) ke Mahmakah Agung (MA).

Menurutnya PK adalah upaya hukum satu-satunya mengingat vonis sudah inkrah di tingkat Pengadilan Tinggi Surabaya.

"Peraturan pemerintah yang mengatur soal pelaksanaan teknis kebiri kimia itu belum ada sehingga hukuman tambahan tersebut harusnya tidak dapat diberikan kepada klien saya," katanya saat dikonfirmasi, Selasa (27/8/2019).

Selain itu, Handoyo mengatakan bahwa hukum kebiri kini sampai saat ini belum ada di Indonesia sehingga tidak mungkin hukuman tersebut diterapkan.

Baca juga: Ajukan PK, Terpidana Pemerkosa 9 Anak Minta Kebiri Kimia Dibatalkan

 

Bertentang dengan sumpah dokter

Ilustrasi kebiri, kebiri kimiaShutterstock Ilustrasi kebiri, kebiri kimia
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Budi Wiweko mengaku tidak terlalu paham terkait kebiri kimia.

Dikutip dari Kompas.com, Budi mengatakan kebiri kimia bukanlah pekerjaan yang boleh dilakukan seorang dokter atau tenaga kesehatan lainnya.

"Ini karena kita punya sumpah dokter yang bunyinya menghormati makhluk hidup insani sejak pembuahan," imbuh dokter Budi.

Dia menegaskan, baik ilmu kesehatan dan ilmu kedokteran, melarang keras untuk menyakiti apalagi mengebiri manusia karena bertentangan dengan sumpah dokter.

Hal senada juga dijelaskan Wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Daeng Mohammad Faqih.

Baca juga: Putuskan Kebiri Kimia Pemerkosa 9 Anak, Hakim Sebut Tidak Langgar HAM

Daeng mengatakan, menjadikan kebiri sebagai hukuman berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi pelaku.

"Jika dilakukan dalam perspektif rehabilitasi justru si predator seksual akan bisa sembuh karena output dari rehabilitasi memang untuk kesembuhan. Kalau perspektifnya hukuman kan tidak ada output kesembuhan," ujar Daeng, dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VIII DPR, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (25/7/2016).

Sementara itu, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan, hukuman kebiri merupakan bagian dari hukuman fisik yang dilarang dalam konvensi antipenyiksaan yang telah diratifikasi.

"Dalam konteks hak asasi manusia, itu enggak boleh, itu hukuman fisik apalagi sampai permanen kayak gitu menyalahi konvensi antipenyiksaan yang sudah kita ratifikasi sebagai UU," kata Choirul kepada Kompas.com, Senin (26/8/2019).

Ia juga menjelaskan bahwa sistem pemidanaan di Indonesia selama 10 tahun terakhir sudah mengarah pada penghapusan hukuman-hukuman fisik.

Baca juga: Kebiri Kimia, Hukuman bagi Pedofilia yang Tuai Kontroversi

 

Putusan sesuai undang-undang

Hukuman Kebiri KimiaKOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Hukuman Kebiri Kimia
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Mukri mempersilahkan pihak medis yang menolak hukuman ekskusi kebiri kimia.

Dikutip dari Kompas.com, pihaknya hanya menjalankan hukuman yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

"Itu kan haknya mereka, tapi ini kan kita melaksanakan putusan hakim yang secara formal diatur itu dalam UU, dalam Perppu 01 tahun 2016," ungkap Mukri, Senin (26/8/2019).

Perppu kebiri ditandatangani Presiden pada Mei 2016 dan disahkan DPR menjadi UU pada Oktober 2016.

Selain mengatur hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual, perppu ini juga memuat ancaman hukuman mati bagi pelaku.

Baca juga: Kejagung soal Kebiri Kimia: Ini Kan Melaksanakan Putusan Sesuai UU...

Sementara itu Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Rudy Hartono mengatakan, pihaknya sedang menunggu petunjuk dari Kejaksaan Agung untuk pelaksanaan eksekusi.

Eksekusi kebiri kimia akan dilaksanakan berdasarkan arahan dari Kejaksaan Agung.

"Hari ini kami sudah kirimkan surat ke Kejaksaan Tinggi untuk meminta petunjuk terkait eksekusi. Lewat surat ke Kejaksaan Tinggi, kami menunggu petunjuk dari Kejaksaan Agung," ungkap Rudy, Senin (26/8/2019).

Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kabupaten Mojokerto, Rasyid Salim mengatakan pihaknya masih menunggu penjelasan lebih rinci terkait proses eksekusi untuk hukuman kebiri kimia.

Baca juga: Vonis Kebiri Kimia di Mojokerto, Jaksa Pastikan Akan Lakukan Eksekusi

Menurutnya pelaksanaan kebiri kimia memang berpotensi melanggar kode etik profesi dokter. Namun, jika hal itu merupakan perintah undang-undang, kode etik tersebut masih memungkinkan untuk dilanggar.

"Kami masih butuh penjelasan soal itu. Tapi kalau seumpama, (aturannya) harus ikut, ya kita ngikut. Kode etik bisa dilanggar ketika itu merupakan perintah undang-undang," kata Salim, saat dikonfirmasi, Senin (26/8/2019) malam.

 

SUMBER: KOMPAS.com (Achmad Faizal, Gloria Setyvani Putri, Devina Halim, Moh. Syafií)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com