Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Putuskan Kebiri Kimia Pemerkosa 9 Anak, Hakim Sebut Tidak Langgar HAM

Kompas.com - 27/08/2019, 10:58 WIB
Moh. SyafiĆ­,
Khairina

Tim Redaksi

MOJOKERTO, KOMPAS.com - Putusan Pengadilan Negeri Mojokerto Jawa Timur yang menjatuhkan hukuman kebiri kimia terhadap pemerkosa anak, menjadi kasus pertama di wilayah tersebut.

Ketua Pengadilan Negeri Mojokerto Jawa Timur Muslim mengatakan, berdasarkan fakta hukum, hukuman berat kepada para pelaku kejahatan seksual khususnya perkosaan terhadap anak-anak, penting diberikan agar memberi efek jera.

Menurut Muslim, keputusan para hakim menjatuhkan vonis kebiri kimia terhadap Aris didasarkan pada fakta hukum di persidangan serta pertimbangan dari hakim berdasarkan fakta-fakta yang terungkap.

Baca juga: Kejagung soal Kebiri Kimia: Ini Kan Melaksanakan Putusan Sesuai UU...

Berdasarkan fakta persidangan, terpidana melakukan perkosaan terhadap 9 anak dengan usia korban rata-rata 6-7 tahun.

Selain itu, efek perbuatannya menimbulkan perasaan sedih yang mendalam pada keluarga korban.

Dia mengakui, hukuman kebiri kimia sempat memunculkan wacana potensi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terkait putusan tersebut.

Namun, kata Muslim, guna memberikan keadilan dan kepastian hukum, wacana dan perdebatan tersebut sebaiknya tidak perlu diteruskan.

"Tadi ada pertanyaan juga terkait hukuman (kebiri kimia) ini, apa itu tidak melanggar HAM. Nah, terdakwa ini melanggar HAM lebih dulu, merampas hak anak kecil sehingga anak kecil ini masa depannya menjadi suram," ujar Muslim saat ditemui Kompas.com di Pengadilan Negeri Mojokerto, Senin (26/8/2019).

Sebagaimana diberitakan, Muh Aris (20), pemuda asal Dusun Mengelo, Desa Sooko, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, harus menjalani hukuman kebiri kimia setelah terbukti melakukan perkosaan terhadap 9 anak.

Berdasarkan putusan pengadilan, terpidana kasus pelecehan dan kekerasan seksual terhadap anak-anak itu juga harus mendekam di penjara selama 12 tahun, serta denda Rp 100 juta subsider 6 bulan penjara.

Wacana potensi pelanggaran HAM jika hukuman kebiri kimia jadi dilakukan terhadap predator anak, salah satunya diungkapkan oleh Ketua Lembaga Perlindungan Perempuan dan Anak (LPPA) Jombang Jawa Timur Sholahuddin.

Menurut Sholahuddin, para pelaku perkosaan memang harus dihukum berat. Namun, lanjut dia, hukuman kebiri kimia tidak serta bisa memberi efek jera terhadap pelaku kejahatan seksual ataupun perkosaan terhadap anak-anak.

"Kalau kebiri itu, pertama tidak an sich bisa menyelesaikan persoalan, terus yang kedua juga ada unsur pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)," kata Sholahuddin kepada Kompas.com, Senin (26/8/2019).

Baca juga: Vonis Kebiri Kimia di Mojokerto, Jaksa Pastikan Akan Lakukan Eksekusi

Dijelaskan, daripada memberi hukuman kebiri, para pelaku perkosaan bisa dihukum dengan masa kurungan paling maksimal. Selain itu, lanjut Sholahuddin, proses rehabilitasi otak pelaku akan jauh lebih efektif dibandingkan dengan melakukan kebiri kimia.

"Orang berbuat cabul, asusila itu otaknya dan bukan alat kelaminnya. Alat kelamin itu manifestasi dari perintah otak. Kalau alat kelaminnya dikebiri tapi otaknya tidak, dia bisa menggunakan alat, tangan," ujarnya.

Menurut aktivis perlindungan perempuan dan anak Jombang Jawa Timur, Palupi Pusporini, perlu ada perubahan sistem pemidanaan bagi pelaku kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak.

Hukuman kebiri kimia, ujar Palupi, tidak menjamin adanya perubahan perilaku. Yang paling efektif, menurut dia, dilakukan rehabilitasi terhadap pelaku.

"Kalau kami tidak sepakat atas tambahan pidana kebiri. Bagi kami itu tidak menjamin adanya perubahan perilaku dari pelaku perkosaan," kata Direktur Women Crisis Center (WCC) Jombang tersebut.

Ajukan PK

Penasehat hukum Muh Aris, Handoyo mengungkapkan, pihaknya berencana mengajukan Peninjauan Kembali (PK) terhadap hukuman kebiri kimia yang dijatuhkan pengadilan kepada Aris.

Handoyo adalah pengacara negara yang ditunjuk pengadilan untuk mendampingi terpidana kebiri kimia itu selama persidangan di Pengadilan Negeri Mojokerto.

Berdasarkan fakta yang terungkap selama persidangan, Handoyo menyatakan terdakwa yang didampinginya selama persidangan, memang terbukti melakukan pidana perkosaan.

"Secara de facto memang dia melakukan. Hasil visum membuktikan bahwa ada akibat dari perbuatan," kata Handoyo, saat dihubungi Kompas.com.

Baca juga: Ini Alasan Pemerkosa 9 Anak di Mojokerto Dijatuhi Hukuman Kebiri Kimia

Dijelaskan, pasca putusan di tingkat pengadilan negeri, kasus Muh Aris sempat naik banding ke Pengadilan Tinggi Surabaya namun banding tersebut justru memperkuat keputusan sebelumnya.

Handoyo mengungkapkan, dirinya tidak terlibat dalam proses banding ke PT Surabaya. Namun rencananya, dirinya akan terlibat dalam proses pengajuan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung.

Menurut Handoyo, pihaknya mengajukan PK karena tergerak pada sisi kemanusian. Terpidana kasus perkosaan 9 anak itu mengaku takut jika dihukum kebiri kimia.

"Yang dia takutkan itu (kebiri kimia). Dia sudah tidak komplain tentang hukuman badan, dia bilang dia takut dihukum kebiri," ungkap Handoyo.

Dijelaskan Handoyo, PK yang akan diajukan diharapkan bisa mencegah Muh Aris dihukum kebiri kimia. Harapan itu menurut dia terbuka, sebab kebiri kimia belum bisa dieksekusi karena belum adanya petunjuk teknis.

Hukuman kebiri kimia telah dilegalkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Namun hingga kini belum ada petunjuk teknis sebagai landasan pelaksanaan eksekusi.

Saat ditemui Kompas.com, Senin (26/8/2019) malam, Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Rudy Hartono mengatakan, putusan pengadilan terhadap Muh Aris (20), pemerkosa 9 anak, seluruhnya akan dijalankan.

Terkait ekskusi kebiri kimia, pihaknya sedang menunggu petunjuk dari Kejaksaan Agung untuk pelaksanaan eksekusi.

Eksekusi kebiri kimia akan dilaksanakan berdasarkan arahan dari Kejaksaan Agung.

"Hari ini kami sudah kirimkan surat ke Kejaksaan Tinggi untuk meminta petunjuk terkait eksekusi. Lewat surat ke Kejaksaan Tinggi, kami menunggu petunjuk dari Kejaksaan Agung," ungkap Rudy.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com