Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita di Balik Kebiri Kimia di Mojokerto, Kesulitan Mencari RS untuk Eksekusi hingga Belum ada Juknis dari MA

Kompas.com - 26/08/2019, 07:20 WIB
Rachmawati

Editor

Setelah aksi yang dilakukan di wilayah Prajurit Kulon Kota Mojokerto Aris diringkus polisi pada 26 Oktober 2018.

Baca juga: Hukuman Kebiri Kimia Belum Ada Juknis, Kejati Jatim Tunggu Petunjuk Jaksa Agung

 

Kesulitan mencari rumah sakit untuk eksekusi

Kasi Intel Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Mojokerto, Nugroho Wisnu mengatakan pihaknya kesulitan mencari rumah sakit yang bisa menjalankan eksekusi kebiri kimia.

"Kalau untuk pidana kurungannya sudah bisa dilakukan eksekusi. Namun, untuk kebiri kimia, kami masih mencari rumah sakit yang bisa," kata Wisnu, saat dihubungi Kompas.com, Jumat (23/8/2019).

Sementara itu Kejati Jatim menyebut hukuman kebiri kimia terhadap terpidana kasus kekerasan seksual anak di Mojokerto belum memiliki petunjuk teknis (Juknis).

Kejaksaan Negeri Mojokerto selaku eksekutor hukuman kebiri kimia terhadap terpidana kasus kekerasan seksual anak, Muh Aris (20), telah meminta petunjuk tentang teknis eksekusi hukuman tersebut kepada Kejati Jatim.

Namun Kejati Jatim menyebut hukuman kebiri kimia belim memiliki petunjuk tekhnis.

Baca juga: Pekerjanya Tinggalkan Utang di Warung, Kontraktor Proyek Rusunawa Mojokerto Tak Hadir Saat Mediasi

Saat ini, pihak Kejati Jatim masih mengonsultasikan teknis eksekusi pada Kejasaan Agung.

"Hukuman kebiri kimia baru pertama kali di Indonesia, dan belum ada juknisnya. Karena itu kami masih menunggu petunjuk dari Kejaksaan Agung," kata Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Jatim, Richard Marpaung, dikonfirmasi Minggu (25/8/2019) malam.

Sementara itu dilansir dari Kompas.com, 25 Juli 2019, Wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Daeng Mohammad Faqih mengatakan, kebiri kimiawi sebaiknya dilakukan dalam perspektif rehabilitasi.

Selain itu dia juga mengatakan dalam etika kedokteran, seorang dokter dilarang mengubang kondisi fisik pasien yang sudah normal ke kondisi yang abnormal.

Baca juga: Buron 7 Tahun, Pelaku Perampokan Disertai Perkosaan Ini Akhirnya Ditangkap

Selain itu Daeng mengatakan, jika dilakukan dalam perspektif hukuman, kebiri kimiawi belum tentu menyembuhkan predator seksual dari kelainan yang dideritanya.

"Jika dilakukan dalam perspektif rehabilitasi justru si predator seksual akan bisa sembuh karena output dari rehabilitasi memang untuk kesembuhan. Kalau perspektifnya hukuman kan tidak ada output kesembuhan," ujar Daeng, dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VIII DPR, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (25/7/2016).

Kebiri sebagai hukuman, menurut Daeng berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi pelaku karena menurutnya seorang predator belum tentu melakukan kekerasan seksual berdasarkan dorongan libido atau hormonal.

Baca juga: Polisi Ringkus Tokoh Masyarakat Pelaku Perkosaan Gadis Difabel

"Kalau ternyata dia melakukan kekerasan seksual bukan atas dorongan libido atau hormonal tetapi tetap dilakukan proses kebiri kimiawi terhadapnya, itu sangat tidak adil dan melanggar etik kedokteran," kata Daeng.

Ia juga menjelaskan kelainan seksual bisa dipicu oleh hormon atau kejiwaan.

"Kalau dia terlanjur sudah dihukum kebiri padahal yang membuat dia kelainan dari aspek kejiwaan, bukan dari hormonal, kan malah enggak sembuh," kata dia.

SUMBER: KOMPAS.com (Moh. Syafií, Amir Sodikin, Achmad Faizal, Rakhmat Nur Hakim)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com