Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kebiri Kimia di Mojokerto, Kejaksaan Masih Mencari Rumah Sakit untuk Eksekusi Hukuman

Kompas.com - 25/08/2019, 20:17 WIB
Amir Sodikin

Editor

MOJOKERTO, KOMPAS.com - Untuk pertama kalinya, vonis berupa kebiri kimia diputuskan di pengadilan Indonesia. Namun, hingga kini, kejaksaan masih mencari rumah sakit yang bisa mengeksekusi putusan yang sudah inkrah ini. 

Muh Aris (20), seorang tukang las asal Dusun Mengelo, Desa Sooko, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, menjadi terpidana pertama yang harus menjalani hukuman kebiri kimia setelah terbukti melakukan perkosaan terhadap 9 anak.

Selain vonis hukuman kebiri kimia, Aris juga harus menjalani hukuman kurungan 12 tahun penjara dan denda Rp 100 juta, subsider 6 bulan kurungan.

Baca juga: Perkosa 9 Anak, Seorang Pemuda di Mojokerto Dihukum Kebiri Kimia

Kasi Intel Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Mojokerto, Nugroho Wisnu mengungkapkan, pihaknya masih harus mencari rumah sakit yang bisa menjalankan eksekusi kebiri kimia. 

"Kalau untuk pidana kurungannya sudah bisa dilakukan eksekusi. Namun, untuk kebiri kimia, kami masih mencari rumah sakit yang bisa," kata Wisnu, saat dihubungi Kompas.com, Jumat (23/8/2019).

Sebelum ada vonis kebiri kimia, Ikatan Dokter Indonesia menolak menjadi eksekutor dari hukuman kebiri kimia.

IDI menolak jadi eksekutor hukuman kebiri dengan alasan pelaksanaan hukuman kebiri oleh dokter dianggap melanggar Sumpah Dokter dan Kode Etik Kedokteran Indonesia.

Baca juga: 
IDI: Jika Kebiri Kimiawi Dilakukan dalam Perspektif Rehabilitasi, Kami Mau Jadi Eksekutornya
IDI Tegaskan Tidak Mau Didorong Jadi Eksekutor Kebiri
IDI: Eksekutor Hukuman Kebiri Tak Harus Dokter
Tunjuk IDI Jadi Eksekutor Hukuman Kebiri Dianggap Langgar Etika Dokter


Awalnya tanpa kebiri kimia

Seperti diberitakan Kompas.com sebelumnya, Muh Aris terbukti bersalah melakukan perkosaan terhadap 9 anak gadis di wilayah Kabupaten dan Kota Mojokerto, Jawa Timur.

Nugroho Wisnu mengatakan, jaksa sebenarnya tidak menyertakan hukuman kebiri dalam tuntutan. Munculnya hukuman kebiri merupakan pertimbangan dan keputusan para hakim di Pengadilan Negeri Mojokerto.

Pihak jaksa penuntut umum (JPU) dalam persidangan di PN Mojokerto, "hanya" menuntut terdakwa dengan hukuman penjara 17 tahun dan denda Rp 100 juta, subsider 6 bulan kurungan.

Kasus perkosaan terhadap 9 anak yang menjerat Aris, disidangkan di PN Mojokerto. Terdakwa divonis bersalah melanggar Pasal 76 D juncto Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Putusan majelis hakim terkait perkara yang menjerat Aris, tertuang dalam Putusan PN Mojokerto Nomor 69/Pid.sus/2019/PN.Mjk, tertanggal 2 Mei 2019.

Wisnu melanjutkan, putusan perkara perkosaan yang menjerat Aris sempat naik banding ke Pengadilan Tinggi Surabaya.

Kala itu, JPU menilai putusan 12 tahun penjara yang dijatuhkan hakim PN Mojokerto, terlalu ringan dibanding tuntutan yang diajukan jaksa.

Namun akhirnya, Pengadilan Tinggi Surabaya menjatuhkan putusan yang memperkuat putusan Pengadilan Negeri Mojokerto.

Nugroho Wisnu mengungkapkan, putusan pidana 12 tahun kurungan dan kebiri kimia terhadap Aris sudah inkrah berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya.

Vonis hukuman pidana bagi predator anak itu tertuang dalam Putusan PT Surabaya dengan nomor 695/PID.SUS/2019/PT SBY, tertanggal 18 Juli 2019.

Putusan itu menguatkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto. "Putusannya sudah inkrah. Kami segera melakukan eksekusi," kata Nugroho Wisnu, saat dihubungi Kompas.com, Jumat (23/8/2019).

Dalam kesehariannya, Aris dikenal bekerja sebagai tukang las. Aksi pemuda itu dilakukan sejak tahun 2015 dengan modus mencari korban dengan kriteria anak gadis, sepulang dari bekerja.

Aksi bejat itu dilakukan di tempat sepi. Salah satu aksinya pada Kamis, 25 Oktober 2018, sempat terekam CCTV.

Aksi dilakukan di wilayah Prajurit Kulon Kota Mojokerto itu menjadi petualangan terakhirnya sebelum diringkus polisi, pada 26 Oktober 2018.


Latar belakang pijakan kebiri kimia

Kompas.com pada 25 Mei 2016 memberitakan, menanggapi maraknya kasus kejahatan seksual terhadap anak-anak, akhirnya Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Perppu ini turut mengatur hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Sanksi yang diatur berupa kebiri secara kimia (kimiawi) serta pemasangan alat deteksi elektronik sehingga pergerakan pelaku bisa dideteksi setelah keluar dari penjara. Perppu ini akhirnya disahkan menjadi UU Nomor 17 Tahun 2016. 

Baca juga:
Perppu Kebiri Disahkan DPR, Ini Aturan Barunya
Perppu Kebiri Disahkan Jadi UU, Menteri Yohana Harap Semua Patuh

Hukuman kebiri telah ada di Eropa sejak abad pertengahan. Pada zaman sekarang, hukuman kebiri juga masih dilaksanakan di berbagai negara, seperti Ceko, Jerman, Moldova, Estonia, Argentina, Australia, Israel, Selandia Baru, Korea Selatan, Rusia, serta beberapa negara bagian di Amerika Serikat.


IDI menolak menjadi eksekutor

Dalam arsip pemberitaan Kompas.com pada 25 Juli 2016, saat itu Wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia Daeng Mohammad Faqih mengatakan, seharusnya ketentuan undang-undang tak bertentangan dengan etika profesi.

"Pasal hukuman kebiri jelas itu bertentangan dengan etika kedokteran jika menunjuk kami sebagai eksekutornya. Itu kan tandanya Perppu tersebut bertentangan dengan etika kedokteran," kata Daeng, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (25/7/2016).

"Kalau ada undang-undang yang bertentangan dengan etika kira-kira yang salah yang mana? Ya undang-undangnya karena kan undang-undang sumber hukumnya dari etika. Apalagi jika kami yang ditunjuk sebagai eksekutornya, ini benar-benar undang-undang yang bertentangan dengan etika," papar dia.

Baca juga: Tunjuk IDI Jadi Eksekutor Hukuman Kebiri Dianggap Langgar Etika Dokter

(Moh Syafii/Bestari Kumala Dewi/Rakhmat Nur Hakim)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com