Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Asinnya Industri Garam di Negeri Ini, Harga Terjun Bebas hingga Impor Terlalu Banyak

Kompas.com - 23/08/2019, 07:02 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo mengatakan jika garam di NTT lebih bagus dari Madura dan Australia.

Pernyataan tersebut disampaikan Jokowi saat meninjau lokasi tambak garam di Desa Nunkurus, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur ( NTT), Rabu (21/8/2019).

Dalam kunjungan ke tambak garam itu, Jokowi didampingi Ibu Negara Iriana Joko Widodo dan sejumlah menteri serta Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat.

Di NTT lahan untuk produski garam yang baru tergarap seluas 10 hektare dari potensi lahan yang tersedia mencapai 600 hektare.

Secara keseluruhan, potensi lahan tambang garam di NTT mencapai 60.000 hektare dan paling sedikit 21.000 hektare dapat direalisasikan dalam waktu 2-3 tahun ke depan, dengan produksi garam mencapai 2,6 juta ton per tahun.

Baca juga: Kemenperin Inginkan Adanya Investasi Garam di Kupang

Bahkan di lahan garam Desa Nunkurus sudah masuk investasi sebesar Rp 110 miliar, dan tahun depan ditargetkan bisa tergarap hingga 600 hektare,

Sementara itu pada Rabu (3/4/2019), Gubernur Nusa Tenggara Timur ( NTT) Viktor Laiskodat menyebut panas matahari di wilayahnya menjadi berkat luar biasa untuk produksi garam.

Panas matahari membuat garam yang diproduksi di NTT memiliki kualitas yang baik.

"Kalau sinar mataharinya cukup maka kualitas garam yang dihasilkan akan sangat bagus. Sebagai gubernur, saya akan sangat marah, apabila ada masyarakat yang mengeluh karena panas. Panas itu berkat yang luar biasa," ujar Viktor saat berkunjung ke tambak garam yang dikelola oleh PT. Timor Livestock Lestari di Desa Nunkurus, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang.

Baca juga: Dari Bali, Jokowi Terbang ke NTT

Ia menargetkan agar NTT bisa menyumbang 1 juta metrik ton garam untuk memenuhi kebutuhan garam nasional.

Keinginan itu diharapkan bisa terpenuhi karena selama ini secara nasional, Indonesia masih mengimpor 3,7 juta metrik ton garam.

Menurut Viktor, kualitas garam NTT merupakan salah satu yang terbaik di Indonesia. Karena NTT punya pantai yang relatif bersih.

Baca juga: Jokowi Sebut Garam NTT Lebih Bagus dari Madura dan Australia

 

Harga garam lokal anjlok

Sejumlah petani garam lokal di Pantura Brebes, Jawa Tengah sedang panen garam di tengah anjloknya harga garam. 
KOMPAS.com/Tresno Setiad Sejumlah petani garam lokal di Pantura Brebes, Jawa Tengah sedang panen garam di tengah anjloknya harga garam.
Sejumlah petani garam lokal di pesisir pantai utara (Pantura) Kabupaten Brebes, Jawa Tengah mengeluh karena saat panen, harga jual garam terjun bebas.

Pada 15 Agustus 2019, harga garam menajdi Rp 250 hingga Rp 300 per kilogram. Untuk harga normal biasanya harga jual garam Rp 700 hingga Rp 750 per kilogram

Menurut Raji, petani garam di Desa Krakahan, Kecamatan Tanjung, Kabupaten Brebes, untuk bisa meraup untung, harga garam minimal harus di atas Rp 700. Jika di bawah itu, maka para petani garam akan merugi.

"Harga anjlok sejak bulan ini, awal Agustus. Padahal seharusnya ini lagi musim panen," kata dia, Rabu (14/8/2019).

Padahal ada puluhan petani garam yang mengolah lahan seluas 30 hektare di kecamatan tersebut yang mengalami nasib serupa.

Baca juga: Jeritan Petani Garam Pantura Saat Harga Terjun Bebas...

Padahal untuk mengelola garam di luas lahan satu hektare, petani membutuhkan modal Rp 20 juta.

Jangankan untung, untuk mengembalikan modal saja tidak cukup.

Sebagian petani garam memilih menjualnya karena didesak kebutuhan dan sebagian lain menyimpannya sementara hingga harga stabil.

Ada beberapa kecamatan di Brebes yang terkena imbas anjloknya harga garam seperti Kecamatan Tanjung, Wanasari, Brebes, dan beberapa desa di Kecamatan Losari.

Ketua Kelompok Tani (Gapoktan) Garam Desa SawojajarArif Ghoni mengungkapkan, anjloknya harga garam terjadi sejak Juni 2019..

Ia menyakini masuknya garam impor menjadi salah satu penyebab harga garam lokal terjun bebas.

Baca juga: Dampak Kebocoran Minyak Pertamina, Petani Garam Tak Panen Selama Seminggu

Sementara itu di Karawang, para petani garam di Ciparagejaya, Kecamatan Tempuran memilih tidak produksi karena tambah garam mereka terpapar tumpahan minyak akibat kebocoran pada anjungan Lepas Pantai YYA-1 area Pertamina Hulu Energi Offshore Nort West Java (PHE ONWJ).

"Selama seminggu dari tanggal 20 hingga 27 Juli kami tidak panen (garam)," ujar Ketua Koperasi Garam Segarajaya Karawang, Aep Suhardi, saat dihubungi, Senin (29/7/2109).

Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, air yang terpapar minyal di lahan mereka langsung dikeluarkan kembali.

Mereka khawatir hal itu akan berpengaruh terhadap garam hasil produksi.

Di Ciparage sendiri, sekitar 40 persen tambak garam yang terdampak.

"Bahan baku garam adalah air laut. Kalau air lautnya terpapar minyak, kami tidak bisa berproduksi," kata dia.

Baca juga: Susi: Harga Garam Petani Anjlok Karena Impor Berlebih dan Bocor

Di kawasan tersebut, dalam sehari satu tambak dapat menghasilkan 100 tom garam.

"Kalau nilainya ya dikalikan Rp 700 per kilogramnya, sekitar Rp 70.000.000," kata dia.

Di Karawang, daerah yang terdapat tambak garam di antaranya di Desa Ciparagejaya Kecamatan Tempuran, Cilamaya Kulon, Cilamaya Wetan, dan Desa Tambaksari Kecamatan Tirtajaya.

Sementara yang terdampak di Desa Ciparagejaya dan Desa Tambaksari.

Baca juga: Rabu, Presiden Jokowi Dijadwalkan Hadiri Panen Garam di Kupang

 

Usulkan garam jadi kebutuhan pokok

ilustrasi garam. Aprillia Ika ilustrasi garam.
Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Kemaritiman akan mengusulkan garam kembali dimasukkan dalam barang kebutuhan pokok dan barang penting.

Hal ini dilakukan agar harga garam di tingkat petani tak kembali anjlok.

Deputi bidang Sumber Daya Alam dan Jasa Kemenko Maritim Agung Kuswandono mengatakan, dalam Perpres 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting, garam menjadi salah satu barang yang dikeluarkan.

Karena itu, HPP garam tidak bisa dijaga oleh pemerintah.

"Yang seharusnya bertanggung jawab mengusulkan garam ke dalam kebutuhan pokok dan barang penting ini adalah adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Perdagangan, dengan pertimbangan dari Kementerian Perindustrian dan BPS," terang Agung, Jumat (12/7/2019).

Baca juga: Gubernur Viktor: Panas Matahari Jadi Berkat Luar Biasa untuk Garam NTT

Menurut Agung, dengan dikeluarkannya garam dari barang kebutuhan pokok dan barang penting, tidak berpengaruh besar terhadap inflasi.

Akan tetapi hal tersebut justru mengganggu industri dan garam petani menjadi tak terserap.

Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan, harga garam yang anjlok di pasaran karena faktor impor garam yang berlebihan.

Dengan melimpahnya stok garam dalam negeri, mengakibatkan garam yang diproduksi petani lokal harganya anjlok.

“Persoalan harga jatuh adalah impor terlalu banyak dan bocor. Titik. Itu persoalannya,” ujar Susi di kantornya, Jakarta, Kamis (4/7/2019).

Baca juga: Gubernur Viktor Laiskodat Targetkan NTT Sumbang 1 Juta Ton Garam untuk Kebutuhan Nasional

Menurut Susi, jika garam impor yang masuk ke dalam negeri di bawah 3 juta ton, maka harga garam di tingkat petambak tidak akan anjlok seperti saat ini.

“Kalau diatur impornya di bawah 3 juta ton kayak tempo hari kan harga di petani masih bisa Rp 2.000, Rp 1.500. Persoalannya impor terlalu banyak dan itu bocor,” kata Susi.

 

SUMBER: KOMPAS.com (Farida Farhan, Tresno Setiadi, Sakina Rakhma Diah Setiawan, Akhdi Martin Pratama, Sigiranus Marutho Bere)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com