KOMPAS.com - Pada momentum Hari Ulang Tahun RI ke-47, Presiden Joko Widodo menulis di akun Instagramnya @jokowi tentang Indonesia sebagai rumah besar yang nyaman untuk semua, tempat semua.
"Yang patut kita syukuri adalah bahwa di tengah berbagai tantangan dan terpaan badai sejarah, Indonesia tetap berdiri kokoh sampai hari ini. Semua itu karena kita memiliki fondasi yang sangat kuat, Pancasila -- dasar negara, bintang penjuru, pemersatu kita semua. Di rumah Pancasila ini, kita hidup rukun meski berbeda latar belakang agama, asal usul suku, ras, maupun golongan.
Rumah besar Indonesia adalah tempat yang nyaman untuk semua, tempat semua anak bangsa bisa berkarya, bergerak, dan berjuang untuk mewujudkan mimpi dan cita-cita kita.
Persatuan Indonesia akan selalu sentosa. Seperti kiambang-kiambang yang bertaut kembali, setelah biduk pembelah berlalu.
Dengan semangat persatuan Indonesia, rumah besar kita tidak akan runtuh, tidak akan ambruk, dan tidak akan punah, tetapi justru berdiri tegak. Bukan hanya untuk 100 tahun, 500 tahun, tapi untuk selama-lamanya," tulis Jokowi.
Nah, berikut 7 kisah damainya menjaga toleransi yang menggambarkan keberagaman di Indonesia.
Ketua FKUB Mimika Ignastius Adii mengatakan, ada 65 pemuda dan pemudi dari latar belakang agama Katolik, Protestan, Hindu dan Budha yang terlibat dalam mengamankan Shalat Ied di Timika.
"Totalnya 65 orang semua," kata Ignatius.
Ia mengatakan selaa ini toleransi umat beragama di Kabupaten Mimika terjalin dengan baik.
Ia mencontohkan saat umat Kristiani merayakan Natal dan Paskah, remaja masjid juga ikut terlibat mengamankan gereja.
"Kami di Mimika memang toleransinya beragamanya sangat baik, dan saling menghargai," tuturnya.
Baca juga: Potret Toleransi dari Timika, Anak Muda Katolik Kristen, Hindu, Budha Jaga Shalat Id
Kisahnya diunggah Andi Triwahyudi (22), salah satu mahasiswa yang mengikuti kuliah Rusli, di media sosial Facebook.
Saat mendengar suara azan Maghrib di tengah kuliah, Rusli segera menghentikan kegiatan dan mempersilakan mahasiswanya yang berpuasa untuk berbuka puasa.
"Beliau bilang, 'sudah azan ya, karena ini Ramadhan, maka bapak memberikan waktu 30 menit untuk berbuka puasa bagi yang Muslim, yang tidak berpuasa pun silakan beristirahat. Eh sebentar Bapak punya rezeki sedikit untuk kalian'," ujar Andi yang berkuliah di Fakultas Ekonomi, Jurusan Manajemen S1.
Kemudian, Rusli ke ruangan dosen dan membawa sekotak roti coklat dan sekotak minuman teh untuk para mahasiswanya.
Padahal dalam kelas itu hanya ada enam atau tujuh mahasiswa Muslim yang berpuasa dari 25 mahasiswa.
Baca juga: Kisah Toleransi Dosen yang Sediakan Makanan untuk Mahasiswa yang Puasa
SUMBER: KOMPAS.com (Irsul Panca Aditra, Retia Kartika Dewi, Moh. Syafií, Rosiana Haryanti, Markus Makur, Puthut Dwi Putranto Nugroho, Andi Hartik)
Mereka kemduaian bermain di lapangan sekolah sembari menunggu waktu berbuka puasa. Kemudian sejumlah siswa SD Kristen Petra mengajak para siswa MI berkeliling kompleks sekolah.
Mereka diajak berkeliling untuk mengunjungi ruang kelas, taman bermain, serta mengunjungi Gereja Kristen Indonesia (GKI) yang berada di lingkungan sekolah tersebut.
Waktu adzan Maghrib pun tiba. Anak-anak dari MI Islamiyah berbuka puasa bersama anak-anak dari SD Kristen Petra, SD Kristen Wijana, serta anak-anak GKJW Bongsorejo dari SDN Grogol 2.
Seusai buka puasa bersama, sejumlah siswa SD Kristen dibantu para guru menyiapkan tempat untuk rombongan dari MI Islamiyah melaksanakan shalat Maghrib.
Sementara siswa lain tampak melayani para siswa MI Islamiyah untuk berwudhu dengan cara memegangi selang air.
"Karena di sini tidak keran air untuk fasilitas wudhu, kami minta anak-anak untuk melayani wudhu dengan menggunakan selang air," ujar Kepala SD Kristen Petra Riri Nurini Setia Ningrum.
Para guru dan murid yang beragama Islam kemudian salat berjemaah di depan pintu gernag Gereja Kristen Indonesia.
Baca juga: Kisah Toleransi Murid-murid SD Kristen yang Jadi Tuan Rumah Buka Puasa Siswa Madrasah
Balai pertunjukan ini menempati area di samping gedung gereja GKJW Jemaat Purwosari-Jengger.
Awalnya bangunan ini dikenal dengan sebutan Gereja Bambu karena hampir seluruh struktur bangunan terbuat dari material alam tersebut.
"Jaringan Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) mengundang perkumpulan ASF-ID untuk mendesain sarana keagamaan dan sosial yang berkarakter setempat serta berwawasan lingkungan," ujar arsitek dan pegiat ASF-ID Andrea Fitrianto menjawab Kompas.com, Rabu (20/2/2019).
Ada yang menarik pada saat pembangunan gedung ini.
Andrea mengungkapkan, saat proses konstruksi seluruh warga baik muslim maupun kristen di desa tersebut bergotong royong membangun balai pertemuan yang memakan waktu hingga enam bulan lamanya
"Mengapresiasi modal sosial tersebut, saat peresmian pada 22 Januari lalu pengurus gereja menghibahkan bangunan ini kepada desa," imbuh dia.
Pmbangunan balai pertunjukan ini membutuhkan anggaran sebesar Rp 300 juta yang diperoleh dari kas gereja dan bantuan jaringan.
Kini balai pertunjukan warga itu diberi nama 'Rumah Bersama'.
Warga kemudian memanfaatkan gedung pertemuan ini untuk berbagai acara sosial maupun keagamaan.
"Demikian kini balai pertemuan Jengger dapat digunakan untuk berbagai acara sosial maupun keagamaan, Ia menjadi 'Rumah Bersama' untuk kehidupan beragama yang harmonis dan penuh toleransi," tutup Andrea.
Baca juga: Rumah Jengger Ayam, Upaya Memperkokoh Toleransi Muslim dan Kristiani
Dengan mengenakan pakaian adat Manggarai Timur lengkap dengan kerudungnya, mereka mengalungkan selendang congkar kepada Imam Katolik, Pastor Rikardus Karno, Projo.
Saat itu, Pastor Rikardus yang merupakan Imam Keuskupan Ruteng baru selesai menerima Sakramen Imamat dari Administrator Apostolik Keuskupan Ruteng.
Setelah misa pentahbisan di Paroki, Pastor Rikardus dijemput keluarga Katolik dan Muslim dari Kampung Puncak Liur untuk merayakan syukuran imamatnya di kampung halamannya.
Ratusan umat muslim dan Katolik yang hidup berdampingan di kampung itu, menjemput di pintu gerbang kampung. Mereka menyambutnya dengan berbagai ritual adat.
Baik umat Islam maupun Katolik, mereka mengenakan pakaian adat Manggarai Timur.
Mereka bersila di atas tikar dan melantunkan bahasa adat setempat sebagai tanda penyambutan imam baru Katolik yang berasal dari Kampung Toleransi Liur.
Baca juga: Menengok Keberagaman di Kampung Toleransi Liur
Sunan Kudus merupakan salah satu tokoh penyebar agama Islam yang tergabung dalam Wali Songo.
Masjid Menara Kudus terlihat berbeda dengan penampakan masjid pada umumnya. Yang paling mencolok adalah bangunan menara yang berdiri menjulang di sebelah tenggara masjid.
Menara berkonstruksi susunan batubata merah itu bentuknya menyerupai bangunan candi khas Jawa Timur.
Bahkan ada yang menyebut menara itu mirip dengan Bale Kulkul atau bangunan penyimpan kentongan di Bali.
Denny Nur Hakim, Staf Dokumentasi dan Sejarah Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus (YM3SK) mengatakan, kesohoran Sunan Kudus terletak pada kepiawaiannya dalam melakukan pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat yang sudah punya budaya mapan.
"Dalam menyebarkan agama Islam, Sunan Kudus membaur dan melakukan pendekatan budaya. Islam mengajarkan santun dan saling menghormati," katanya saat ditemui Kompas.com, Rabu (30/5/2018).
Salah satu nilai toleransi yang diajarkan oleh Sunan Kudus terhadap pengikutnya, yakni dengan melarang menyembelih sapi untuk dikonsumsi. Tak hanya itu, sapi juga ditempatkan di halaman masjid ketika itu. Langkah itu diharapkan bisa diikuti oleh seluruh pengikut Sunan Kudus lantaran sapi dianggap sebagai binatang suci bagi umat Hindu.
Baca juga: Masjid Menara Kudus, Saksi Hidup Toleransi dari Masa ke Masa (1)
Jarak antara Masjid Agung dengan Gereja Katolik Hati Kudus Yesus atau biasanya dikenal dengan Gereja Kayutangan terbilang dekat, hanya berkisar 100 meter.
Biasanya, jemaah shalat Idul Adha Masjid Agung akan meluber hingga Jalan Basuki Rachmat yang ada di depan gereja tersebut.
"Bapak, Ibu yang kami hormati. Tolong disampaikan kepada umat bahwa Minggu tanggal 11 Agustus tidak ada misa pukul 6.00 di Gereja HKY (Hati Kudus Yesus) karena ada shalat Id (shalat Idul Adha). Sedangkan yang lain seperti biasa," kata Pastor Paroki, Romo Alberto Djono Moi, O.Carm, melalui pesan singkat, Jumat (9/8/2019).
Berbeda dengan Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB) Immanuel. Gereja itu tetap menjadwalkan kebaktian sesuai dengan jadwal. Paling pagi, jadwal kebaktian di gereja itu pukul 8.00 WIB.
Meski begitu, pengurus gereja akan menunda pelaksanaan kebaktian seandainya pukul 08.00 WIB shalat Idul Adha masih belum selesai.
"Tapi kalau selesainya jam 8, mereka (jemaat) tetap akan hadir. Mereka akan lewat pintu belakang. Mereka akan ada di dalam gereja sampai Idul Adha selesai," kata Ketua Majelis Jemaat GPIB Immanuel Malang, Pendeta Richard Agung Sutjahjono.
Baca juga: Gereja di Malang Ini Tiadakan Misa yang Bersamaan dengan Shalat Idul Adha
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.