KOMPAS.com - Pada tanggal 28 Desember 1933, Gubernur Jenderal Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, De Jonge, mengeluarkan surat keputusan pengasingan Ir Soekarno ke Ende.
Saat itu, Soekarno dan istrinya Inggit Garnasih, Ratna Djuami (anak angkat), serta mertuanya, Ibu Amsi, bertolak dari Surabaya menuju Flores dengan kapal barang KM van Riebeeck.
Setelah berlayar selama delapan hari, mereka tiba di Pelabuhan Ende.
Puluhan tahun kemudian, kedatangan Bung Karno di Kota Endi diperingati masyarakat Ende dengan menggelar Parade Laut tepatnya pada Kamis (31/6/2019).
Baca juga: Perenungan Soekarno di Ende hingga Pohon Sukun, Fakta Unik Lahirnya Pancasila
Acara Parade Laut diawal dari Pulau Ende, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT) menuju Pelabuhan Bung Karno, Kota Ende.
Ratusan kapal nelayan yang dihiasi Bendera Merah Putih, Burung garuda, dan foto Soekarno berparade dikawal oleh Kapal Perang KRI Teluk Ende 517.
"Jadi parade ini menceritakan tentang awal mula Bung Karno diasingkan oleh Belanda ke Ende sehingga masyarakat tahu akan sejarah tersebut," ucap Kepala Dinas Pariwisata NTT, Marius Ardu Jelamu.
Dilansir dari kemdikbud.go.id, setelah tiba di Ende, Soekarno dan keluarganya dibawa ke rumah pengasingan yang terletak di Kampung Ambugaga, Kelurahan Kotaraja.
Di rumah milik Haji Abdullah Amburawu, Ir. Soekarno beserta keluarganya menghabiskan waktu mereka selama empat tahun.
Rumah tersebut terdiri dari ruang tamu, ruang tengah, dan tiga kamar tidur. Saat ini bagian rumah masih terlihat seperti sedia kala.
Beberapa barang milik Bung Karno juga masih disimpan seperti ranjang, lemari, biola, tongkat, lampu minya, lampu tekan, setrika, peralatan makan, dan peralatan amsak.
Beberapa karya lukisnya pun masih dipajang di dinding rumah dan beberapa buku koleksinya di letakkan di teras belakang rumah.
Baca juga: Parade Seribu Garuda Siap Digelar di Ende
Dia juga banyak membaca dan berdialog dengan para misionaris, terutama Pastor Paroki Ende, Gerardus Huijtink.
Setiap hari Bung Karno harus melapor ke pos militer di Ende Utara. Untuk mengisi waktu, Bung Karno banyak menulis naskah tonil.