Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

182 Korban Meninggal Akibat Konflik di Nduga Papua karena Kedinginan, Lapar, dan Sakit

Kompas.com - 15/08/2019, 11:49 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Tim Kemanusiaan yang dibentuk Pemerintah Kabupaten Nduga menyatakan 182 pengungsi meninggal di tengah konflik bersenjata di Papua, kejadian yang disebut "bencana besar, tapi di Jakarta santai-santai saja."

John Jonga, anggota tim kemanusiaan, menyatakan pengungsi yang meninggal - sebagian besar perempuan berjumlah 113 orang - adalah akibat kedinginan, lapar dan sakit.

"Anak-anak ini tidak bisa tahan dingin dan juga ya makan rumput. Makan daun kayu. Segala macam yang bisa dimakan, mereka makan," kata anggota timnya, John Jonga saat merilis hasil temuannya di Jakarta, Rabu (14/8/2019)

"Ini sudah tingkat pelanggaran kemanusiaan terlalu dahsyat. Ini bencana besar untuk Indonesia sebenarnya, tapi di Jakarta santai-santai saja," tambahnya.

Baca juga: Lelah Hadapi Konflik, Ini Keinginan Masyarakat Kabupaten Nduga

Anak-anak terpaksa berhimpitan satu sama lain ketika belajar di sekolah darurat. dok BBC Indonesia Anak-anak terpaksa berhimpitan satu sama lain ketika belajar di sekolah darurat.

Berdasarkan temuan tim yang dibentuk Pemerintah Kabupaten Nduga ini, para pengungsi berasal dari Distrik Mapenduma sebanyak 4.276 jiwa, Distrik Mugi 4.369 orang dan Distrik Jigi 5.056, Distrik Yal 5.021, dan Distrik Mbulmu Yalma sebesar 3.775 orang.

Sejumlah distrik lain yang tercatat adalah Kagayem 4.238, Distrik Nirkuri 2.982, Distrik Inikgal 4.001, Distrik Mbua 2.021, dan Distrik Dal 1.704.

Mereka mengungsi ke kabupaten dan kota terdekat atau ke dalam hutan, kata John.

"Ada yang ke Wamena, Lanijaya, Jayapura, Yahukimo, Asmat, dan Timika. Pengungsi-pengungsi itu (sebagian) masih ada di tengah hutan, sudah berbulan-bulan," lanjutnya.

Baca juga: Jadi Korban Konflik, Puluhan Ribu Warga Nduga Mengungsi

 

Ditetapkan sebagai bencana nasional?

Tentara mengangkut jenazah petugas konstruksi yang dibunuh OPM, Desember lalu. dok BBC Indonesia Tentara mengangkut jenazah petugas konstruksi yang dibunuh OPM, Desember lalu.
Ribuan warga sipil di Kabupaten Nduga mengungsi setelah pembunuhan belasan karyawan PT. Istaka Karya di Gunung Kabo, Desember 2018 lalu oleh anggota Organisasi Papua Merdeka.

Setelah peristiwa pembantaian ini, pemerintah menambah pasukan militer di Kabupaten Nduga untuk mengejar kelompok OPM pimpinan Eginaus Kogeya. Di tengah operasi militer inilah ribuan warga sipil mengungsi.

Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua, Theo Hasegem mendorong pemerintah untuk menjadikan apa yang terjadi di Nduga sebagai bencana nasional.

Menurutnya cakupan korban jiwa dan penderitaan pengungsi sudah bisa dijadikan ukurannya.

"Ini sudah masuk ke dalam isu kemanusiaan," katanya.

Baca juga: Pemerintah Diingatkan, Bahaya jika Tak Perhatikan Anak-anak Nduga di Pengungsian

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Ifdhal Kasim mengatakan untuk menetapkan bencana nasional, perlu adanya evaluasi dari kementerian dan lembaga.

"Persyaratan dalam UU (Penanggulanan Kebencanaan) itu sudah memenuhi atau belum. Itu yang memerlukan pengkajian lebih jauh terhadap situasi di sana," kata Ifdhal saat dihubungi BBC Indonesia, Rabu (14/8/2019).

Berdasarkan UU ini, indikator penetapan status dan tingkat bencana nasional perlu meliputi jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan sarana dan prasaran, cakupan luas wilayah, dan dampak sosial-ekonomi yang ditimbulkan.

"Memang itu laporan data-data berkenaan dengan korban dari orang yang bekerja di sana. Kita terima, dan itu jadi evaluasi karena itu intensitas memulihkan situasi di Nduga itu jadi prioritas," lanjut Ifdhal.

Baca juga: 182 Orang Disebut Jadi Korban Jiwa Konflik di Nduga


Bantuan pemerintah ditolak

Keluarga karyawan proyek yang dibunuh OPM di Nduga. dok BBC Indonesia Keluarga karyawan proyek yang dibunuh OPM di Nduga.
Saat ini pemerintah melalui Kementerian Sosial telah menyalurkan bantuan berupa makanan. Tapi sebagian pengungsi menolak bantuan tersebut karena sejumlah alasan.

"Alasan penolakan itu saudara-saudara kami sedang korban meninggal di hutan, terus kita mau tinggal di sini, mau enak-enak makan. Sementara teman-teman kita yang ada di hutan mati semua," kata Theo sambil mengatakan pemerintah perlu melakukan pendekatan secara kultural kepada para pengungsi.

Alasan lainnya, para pengungsi juga meminta penarikan pasukan TNI/Polri dari Kabupaten Nduga. Sebab, keberadaan tentara justru membuat pengungsi ketakutan.

"Supaya kami bisa masuk ke daerah, kita bisa leluasa di kampung-kampung. Daripada kami dibantu terus," tambah Theo.

Baca juga: Polemik Penarikan Pasukan TNI/Polri dan Krisis Sosial di Nduga...

Terkait hal ini, Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) Cenderawasih Letkol Cpl Eko Daryanto menolak berkomentar.

Namun Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Ifdhal Kasim mengatakan keberadaan militer di Kabupaten Nduga "untuk memudahkan, bekerjanya (petugas) bantuan-bantuan untuk mengatasi soal krisis kesehatan di sana'.

"Mulai soal anak, perempuan, dan pendidikannya. Jadi juga infrastruktur, karena kalau tidak ada jaminan kemanan juga sulit dilakukan. Cuma kan yang pengamanan ini tidak dikesankan sebagai satu operasi militer. Kira-kira begitu," kata Ifdhal.

Baca juga: Bupati Minta Semua Pasukan Ditarik dari Nduga, Ini Pernyataan TNI

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com