Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

13 Tahun Tanpa Kepastian, Izin Gereja Yasmin Bogor Dijanjikan Selesai Tahun Ini

Kompas.com - 14/08/2019, 12:41 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Wali Kota Bogor Bima Arya mengatakan bahwa Gereja Yasmin Bogor yang terkatung-katung proses izinnya dalam 13 tahun terakhir karena ditentang "kelompok intoleran" akan selesai tahun ini.

"Itu adalah PR yang tak bisa sendiri dihadapi, tapi kami percaya harus diselesaikan bersama-sama," katanya saat peluncuran hasil riset Setara Institute di Jakarta, Selasa (13/08).

Wali Kota Bogor, Bima Arya mengakui di daerahnya masih terdapat kelompok-kelompok intoleran, termasuk yang menolak keberadaan GKI Yasmin.

Terkait dengan penyelesaian GKI Yasmin, Bima Arya mengaku telah membentuk tim yang terdiri dari perwakilan pemerintah kota, gereja, dan kelompok Islam.

Baca juga: Gereja HKBP Batam Center Sumbang 3 Ekor Kambing untuk Kurban

Saat ini tim yang terdiri dari tujuh orang masih membahas fokus penyelesaian GKI Yasmin dengan pilihan mendirikan di tempat yang baru, relokasi, atau berbagi lahan.

"Saya optimistis yang besar, Yasmin ini akan selesai. Mudah-mudahan Natal ini ada kabar baik bagi kita semua," kata Bima Arya.

Hasil penelitian Setara Institute menunjukkan terdapat 91 produk hukum di Jawa Barat dan 24 di Yogyakarta yang berisi elemen diskriminatif berdasarkan gender, etnisitas, kepercayaan dan orientasi seksual.

Dari temuan Setara Institute, dampak yang ditimbulkan dari produk hukum daerah diskriminatif antara lain hambatan pelayanan publik, hilangnya hak konstitusional warga untuk menjalankan ibadah, stigma terhadap kelompok LGBT/waria dan pekerja seks, meningkatnya kesulitan pendirian tempat ibadah, dan potensi tindakan kekerasan terhadap kelompok minoritas.

Baca juga: Shalat Id Berlangsung di Depan Gereja, Umat Kristen Tunda Ibadah


Kemendagri kurang tenaga evaluasi

Protes penyegelan GKI Yasmin pada Januari 2012 di depan Istana Presiden, Jakarta. dok BBC Indonesia Protes penyegelan GKI Yasmin pada Januari 2012 di depan Istana Presiden, Jakarta.
"Produk hukum diskriminatif akan menjadi bom waktu, menyebabkan konflik sosial antar etnik, agama dan ikatan sosio-kultural lainnya," kata peneliti Setara Institute, Ismail Hasani.

Kementerian Dalam Negeri mengakui sulit mengendalikan produk hukum daerah yang intoleran dan diskriminatif terhadap kelompok minoritas, salah satunya karena masalah internal.

Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Akmal Malik mengaku dari 56 anggota tim yang mengevaluasi produk hukum daerah, hanya tujuh yang berlatar belakang sarjana hukum.

"Selainnya, sarjana lain yang dipaksa menjadi sarjana hukum," katanya, Selasa (13/8/2019).

Baca juga: Gereja di Malang Ini Tiadakan Misa yang Bersamaan dengan Shalat Idul Adha

Akmal mengatakan pihaknya berjanji akan mengevaluasi satu persatu berdasarkan kewenangan direktorat untuk mengklarifikasi produk hukum daerah.

Akmal mengatakan jika terdapat produk hukum daerah yang bertentangan dengan aturan lainnya termasuk Pancasila serta berpotensi menimbulkan konflik, "Maka Kemendagri berhak untuk menyampaikan kepada pemda untuk dilakukan perubahan."

Ia mengatakan dalam waktu dekat, temuan Setara Institute ini akan dibawa dalam rapat bersama Kementerian Hukum dan HAM dan Ombudsman RI.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com