BANDUNG, KOMPAS.com - “Oemar Bakri...Oemar Bakri banyak ciptakan menteri
Oemar Bakri...Bikin otak seperti otak Habibie
Tapi mengapa gaji guru Oemar Bakri seperti dikebiri...”
Penggalan lagu berjudul “Oemar Bakrie” itu diciptakan Iwan Fals sekitar tahun 1981. Lagu ini menceritakan seorang guru yang mengabdikan hidupnya untuk Indonesia sejak zaman penjajahan Jepang.
Oktober 1996 di Bali, Iwan Fals memperkenalkan salah satu sosok yang menginspirasi lagu itu. Dia adalah Abah Landoeng, guru Iwan Fals di SMP 5 Bandung.
Di tahun 2019 ini, Abah Landoeng berusia 94 tahun. Fisiknya masih kuat. Bahkan masih menggowes sepeda Federalnya kemana pun.
Baca juga: Kisah Penyintas KDRT: Mereka yang Terhempas dan Bangkit
Termasuk dari rumahnya di Cimahi ke warung kecilnya di Jalan Mangga No 26, Kota Bandung.
Di warung inilah, ia bersama sang istri menjalankan bisnis mi goreng dan nasi goreng legendaris yang disukai Presiden Soekarno.
Meski warung “Ibu Sani Landoeng” ini kecil dan beralaskan tanah, namun pengunjungnya beragam dari mahasiswa hingga wali kota dan jenderal.
Dihiasi aroma sedap mi tektek, Abah Landoeng menceritakan kisah hidupnya sebagai guru kepada Kompas.com.
“Abah ngajar dari zaman Jepang, tahun 1942,” ujarnya, Selasa (14/8/2019).
Saat itu, lulusan Algemeen Metddelbare School (AMS-setingkat SMA) ini mengajar dengan dengan mengendarai sepeda kumbang mengelilingi Kota Bandung.
Ia keluar dari rumahnya di Jalan Citarum, pagi hari. Bila bertemu tukang panggul atau petani, ia akan bertanya apakah mereka sudah bisa baca.
Jika belum, Landoeng akan menghentikan sepedanya, mengambil papan tulis kecil dan kapur dari sepedanya, kemudian mengajar.
“Abah tidak dibayar. Abah jadi sukarelawan saja. Terus seperti itu hingga zaman kemerdekaan. Karena sampai tahun 1950-1960an, Indonesia masih berperang melawan buta huruf. Hati abah tergerak,” tuturnya.
Baca juga: Mari Kita Bantu Nining, 15 Tahun Jadi Guru Honorer yang Tinggal di Toilet
Bukan hanya orang tak mampu yang buta huruf. Pada zaman itu, banyak saudagar kaya seperti pedagang di Pasar Baru yang juga buta huruf.
Mereka mampu menghitung dan berjualan dengan baik, namun tidak bisa membaca. Karena itulah, Abah Landoeng pun mengajari para saudagar kaya dan anak-anaknya membaca. Dari saudagar inilah Abah Landoeng biasanya mendapatkan makanan dan minuman.
Tahun 1950, Abah Landoeng akhirnya diangkat menjadi guru di SMPN 5 Bandung. Ia mengajar Fisika, Keterampilan, dan sesekali mengajar olahraga seperti softball.
“Murid abah ada yang jadi menteri, profesor, banyak yang jadi orang-orang hebat kaya Gubernur Ridwan Kamil,” ungkapnya.
Kalangan profesor, beberapa nama seperti Guru Besar Unpad, Prof Ina Primiana tercatat sebagai muridnya. Begitupun artis seperti Euis Komariah, Didi Petet, Iwan Fals, pernah menjadi muridnya.
Tahun 1963-1966, Abah Landoeng ditugaskan Presiden Soekarno ke Malaysia untuk membantu negara tetangga itu melawan buta huruf.
Baca juga: Cerita Guru Honorer di Pedalaman Flores, Gaji 85.000, Hidup Tanpa Listrik dan Jaringan Telepon
Abah Landoeng lahir di Bandung, 11 Juli 1926. Ayahnya yang berpofesi sebagai mandor dalam pembangunan Gedung Sate, membuatnya bisa mengenyam pendidikan hingga tingkat SMA (AMS/HBS pada zaman Belanda).
Sejak kecil, Abah Landoeng sudah biasa bekerja. Seperti saat duduk di bangku SMP-SMA, ia menjadi pengambil bola di lapangan tenis dan golf.
Dari pekerjaannya, ia mendapatkan uang 1 sen, jumlah yang besar pada masa itu. Dengan uang 1 sen, ia bisa membeli beras dan sembako lainnya. Bahkan ia bisa mntraktir lotek untuk 10 temannya.
“Abah juga bisa tenis dan golf. Kadang yang namanya caddy golf itu lebih jago main golf-nya,” ungkapnya.
Lulus dari AMS, hati Landoeng tergerak untuk mengajar baca dengan cara berkeliling menggunakan sepeda. Meski tidak dibayar, ia tidak pernah kelaparan.
Ketika ditanya perbedaan murid zaman now dengan dulu, Landoeng mengatakan, siswa zaman baheula disiplin dan menghormati guru.
“Dulu anak-anak jenderal itu, (kalau nakal) Abah jitak. Orangtuanya gak apa-apa. Kalau sekarang, main lapor,” tuturnya.
Meski menjadi pendidik, ia pernah ikut mengangkat senjata melawan penjajah. Di zaman Belanda dan Jepang, beberapa kali ia mengangkat bambu runcing.
“Kalau masa Dwikora, abah angkat senjata beneran, bukan lagi bambu runcing,” tutupnya.
Baca juga: Kisah Guru Honorer di Daerah Terpencil Sumedang, Honor Rp 300.000, Jalan Kaki 10 Km
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.