Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Setelah 12 Tahun Menanti, Warga Desa di Papua Ini Akhirnya Rasakan Pembangunan

Kompas.com - 13/08/2019, 20:01 WIB
Kontributor Kompas TV Timika, Irsul Panca Aditra,
Robertus Belarminus

Tim Redaksi

TIMIKA, KOMPAS.com - Warga Kampung Mandiri Jaya, Distrik Wania, Mimika, Papua, kini merasa senang, setelah 12 tahun menanti akhirnya pembangunan mulai masuk di kampung mereka.

Kebahagian warga ini terpancar ketika melihat prajurit TNI yang tergabung dalam Satgas TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD) ke-105 di wilayah teritorial Kodim 1710/Mimika membangun jembatan, MCK, sumur bor, dan penimbunan jalan.

Pembangunan belum sepenuhnya tersentuh di kampung yang 100 persen penduduknya orang asli Papua (OAP) asal pegunungan itu.

Dana desa yang diterima sejak tahun 2016, hanya digunakan untuk membuka akses jalan yang menghubungkan RT yang satu ke RT lainnya, serta akses jalan menuju kebun dan depan kampung.

Baca juga: Polisi Gugur Disandera KKB, Kapolda Papua: Tidak Ada Penambahan Pasukan

Membuka akses jalan memang menjadi prioritas penduduk kampung agar mereka tidak terisolir, meski kampung ini berada di sekitar Kota Timika.

"Kami terima dana desa 2016 itu untuk buka akses jalan," kata Kepala Kampung Mandiri Jaya Natalis Weya.

Penduduk kampung ini merupakan eksodus dari Distrik Kwamki Narama pada tahun 2006  -2007 dikarenakan terjadi perang suku.

Mereka memilih keluar dari distrik tersebut karena tidak mau terlibat dalam pertikaian.

Mereka pun membuka perkampung baru, setelah mendapatkan izin dari pemilik hak ulayat.

Dengan bemodalkan Rp 35 juta dari hasil patungan warga, mereka membuka akses jalan agar bisa keluar masuk kampung.

Kampung dengan luas tiga kilometer persegi kini sudah dihuni 350 kepala keluarga dengan jumlah penduduk sebanyak 944 jiwa terdiri dari laki-laki 514 jiwa dan perempuan 430 jiwa.

Pada umumnya, warga di kampung ini berprofesi sebagai petani. Mereka tinggal di rumah yang 95 persen terbuat dari papan kayu.

Tidak semua rumah juga memiliki kamar mandi, sehingga sebagian besar penduduk memanfaatkan aliran sungai di belakang kampung untuk mencuci, mandi, dan kakus.

Jalan menuju ke kebun juga tidak dapat diakses kendaraaan sehingga hasil pertanian harus mereka pikul hingga ke perkampungan, dengan melewati jalan yang berlumpur serta jembatan dari batang pohon.

"Dalam satu rumah bisa dihuni lebih dari satu kepala keluarga. Setiap kepala keluarga di sini juga diberikan lahan pertanian masing-masing 100 x50 meter," kata Natalis.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com