“Bicara omzet untuk masa Idul Adha tahun lalu saja tembus Rp 35 juta,” kata Tutik.
Semua berawal dari belasan tahun lalu. Banyak orang sulit mendapatkan bumbu masakan pada musim Lebaran Haji ini. Warga tidak puas dengan bumbu instan produksi pabrikan.
Tutik beranikan diri terjun menjual bumbu masakan pada 2004. Pada dasarnya, ibu tiga anak ini menyukai dunia masak memasak.
Ia menggiling sendiri semua bahan baku, memasukkan dalam kemasan plastik, mengikatnya, lantas menitipkan ke beberapa pedagang di pasar maupun tukang jamu di Kota Wates.
Seketika laris jelang lebaran. Ia bisa menghasilkan Rp 350.000 dalam satu hari.
Tutik terus menekuni bisnis ini sampai sekarang. Pendapatan dapurnya berkali lipat ketika musim hari raya berikutnya, baik Idul Fitri maupun Idul Adha.
Baca juga: Kisah Darsini, Ibu yang Jadi Viral karena Sang Anak Tulis Surat ke Ganjar
Bisnisnya pun berkembang luas.
“Saya juga tidak hanya menjual bumbu. Saya ini juga jual sayur matang bungkusan. Saya titip ke penjual-penjual di pasar,” katanya.
Tutik mengaku tidak berpuas diri atas hasil racikannya. Ia menginginkan bumbu dengan cita rasa kuat.
Sambil memproduksi bumbu dan masakan, ia terus menambah referensi rasa terbaik dengan mencoba makanan apapun.
Itulah mengapa bumbu miliknya memiliki ciri khas yang berbeda dengan lainnya.
Misal, kata Tutik, yang membedakan bumbu rendang adalah rempah rempahnya, karena harus ada kaskas, jinten manis, kapulaga jawa dan ragam bumbu yang umum harus tetap dipakai.
"Karena ada yang membikin bumbu rendang pokoknya ada pekak. Tapi saya tidak," katanya.
Perjalanan waktu, ia malah bertambah gemuk karena kebiasaan itu.
Baca juga: Kisah Perempuan Korban Pengantin Pesanan di China, Disiksa Saat Hamil hingga Lapor Polisi via FB
“Berat badan saya pernah sampai 115 kilogram. Saya mencoba semua makanan enak untuk mendapatkan komposisi bahan baku pada bumbu sehingga menghasilkan rasa yang pas,” kata Tutik.
Bisnis Tutik terus tumbuh dan bertahan hingga kini. Ia membangun jualan bumbu bersama sang suami Simron Guswanto, 42.
Dapur kecilnya mampu mempekerjakan 4 karyawan. Ketiga anaknya kadang ikut membantu di saat waktu luang.
Tidak ada yang instan. Tutik bersama Simron, suaminya, melewati perjalanan jatuh bangun usaha sebelum terjun ke dunia bumbu masakan. Sebelum itu, keduanya hanyalah penjual ayam bakar di Yogyakarta.