Ketika itu, Yusqon tengah mempersiapkan ujian terbuka (life Skill) untuk program pendidikan doktor (S3) Universitas Negeri Semarang (Unnes). Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Yusqon dengan mendirikan TBM Sakila Kerti yang bermakna "kecerdasan rasa".
Kebetulan juga saat itu Pemkot Tegal memang sedang mencanangkan program "Tegal Cerdas".
"Lampu hijau dari Wali Kota Tegal saat itu untuk mengelola ruangan di terminal Kota Tegal adalah peluang terbaik saya. Saya dirikan TBM Sakila Kerti di terminal Kota Tegal. Hasil disertasi saya "long life education" sepertinya pantas untuk diterapkan di Terminal. Mengapa tidak? Pendidikan itu penting dan tidak pandang bulu," ungkap Yusqon kepada Kompas.com.
TBM Sakila Kerti yang memiliki koleksi 400 buku kala itu diharapkan menjadi sarana baca gratis bagi pedagang, pengamen, pengemis, sopir, kernek, penumpang dan warga terminal lainnya.
TBM Sakila Kerti melayani pengunjung sejak pagi hingga malam.
Baca juga: Kisah Taman Baca Sakila Kerti, Tempuh Bahaya agar Preman Terminal Berubah (1)
Seorang pemuda asal Kota Medan, Ahmad Azhari (37)berafiliasi dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Sources of Indonesia (SoI) mendirikan Rumah Baca Lembah Sibayak.
Ari menceritakan, awal mula munculnya gagasan untuk mendirikan RBLS yakni saat dirinya beserta relawan SoI melakukan asesmen di kawasan Lembah Sibayak, yakni Desa Semangat Gunung (300 KK), Kecamatan Merdeka dan Desa Doulu (500 KK), Kecamatan Berastagi.
“Saat itu saya melihat banyak anak yang bermain liar di lokasi di perladangan dengan minim pengawasan dari orangtua, bermainnya cenderung liar dan negatif,” katanya.
Di Lembah Sibayak, terdapat dua Sekolah Dasar (SD) yang berada di Desa Doulu. Namun secara fasilitas pendukung pendidikan, dua sekolah tersebut belumlah memadai.
Selama hampir dua tahun, SoI bergerak merekrut anak-anak Lembah Sibayak melalui kelompok bermain.
Semua kegiatan dilakukan di luar ruangan dengan menggunakan media belajar yang beragam. Kelompok bermain inilah yang menjadi embrio komunitas rumah baca yang berdiri pada 5 Juni 2017 tersebut.
“Karena saat itu Gunung Sinabung sedang erupsi sehingga anak-anak membutuhkan sebuah rumah sekretariat agar tidak terpapar bahaya abu vulkanik,” tutur Ari yang merupakan Sarjana Pertanian Universitas Pembangunan Masyarakat Indonesia.
Baca juga: Rumah Baca Lembah Sibayak, Membangunkan Anak-anak di Tanah Karo dari Tidur
Hal itu seperti yang diwujudkan para pemuda di Desa Mojoduwur, Kecamatan Mojowarno, Kabupaten Jombang, Jawa Timur.
Di desa ini sudah ada 2 dari 7 Pos Kamling yang disulap menjadi taman baca. Salah satunya, ada di lingkungan RT 02, RW O3, Dusun Mojoduwur Utara, Desa Mojoduwur.
Oleh masyarakat dan pemuda desa setempat, Pos Kamling yang disulap menjadi area bermain dan membaca itu disebut sebagai 'Pos Sudut Baca'.
Pos Kamling yang sederhana dengan kondisi seadanya didesain lebih cantik dan nyaman untuk anak-anak, tanpa merubah bentuk dan fungsi asal.
Bagian dalam Pos Kamling terdapat rak buku. Pada rak buku tersebut, tampak berjejer puluhan judul buku yang didominasi buku dan komik untuk anak-anak.
Ketua RT 02 RW 03, Desa Mojoduwur, Kabupaten Jombang, Imam Wahyudi mengaku senang, fungsi Pos Kamling di tempatnya tak hanya sebagai tempat kumpul para petugas ronda malam, ataupun tempat menongkrong kalangan bapak-bapak.
Pos Kamling yang ada di depan rumahnya, kini juga berfungsi sebagai area bermain dan tempat membaca bagi anak-anak di lingkungannya.
"Kalau malam untuk bapak-bapak, tapi kalau siang atau sore begini untuk anak-anak," katanya kepada Kompas.com.
Baca juga: Kisah Pemuda Desa di Jombang, Sulap Pos Kamling Menjadi Taman Baca
"Ide itu muncul dari obrolan kecil pemuda di sini yang ingin membuat rumah baca untuk memasilitasi anak-anak supaya bermain tetap terarah," kata Rudi, Sabtu (1/4/2017).
"Ketika itu di rumah juga tidak ada rak buku, jadi terpaksa saya gunakan lemari baju pakaian nenek saya (ibu Sutijah) untuk dijadikan rak buku," lanjut dia.
Sutijah awalnya keberatan rumahnya dijadikan taman bacaan. Ia merasa rumahnya jelek dan tak tahan dengan keriuhan suara anak-anak.
"Nenek saya bilang rumahnya jelek malu kalau banyak orang datang dan berisik suara keributan anak-anak," Rudi mengulang ucapan neneknya.
Tapi Rudi terus memberi pengertian tentang cita-citanya membentuk rumah baca yang ingin melihat generasi di kampungnya lebih maju.
Berbekal dengan 16 buah buku yang tersedia, Rudi nekat membuka rumah baca. Rumah baca yang diberi nama "Akar Pelangi" pun berdiri dan kini telah memiliki koleksi lebih dari 700 buku.