Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Pengungsi Nduga Papua, Tak Punya apa-apa dan Ingin TNI Ditarik Agar Bisa Kembali ke Desa

Kompas.com - 02/08/2019, 05:50 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Para penduduk Nduga mengungsi menyusul operasi militer awal Desember 2018 yang digelar untuk mengejar sejumlah tersangka pembunuh pekerja proyek Trans Papua.

Para tersangka diduga anggota Organisasi Papua Merdeka.

Pengungsi-pengungsi tersebut terjepit di tengah krisis berkepanjangan akibat kontak senjata antara TNI/Polri dan kelompok yang menamakan diri Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat - Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM).

Baca juga: [POPULER NUSANTARA] Sosok Egianus Kogoya di Konflik Nduga | Jika Diminta Risma Bantu Atasi Sampah di Jakarta

Salah seorang pengungsi, Angelina Gwijangge, warga dari distrik Yigi di Kabupaten Nduga, termasuk yang melarikan diri karena konflik senjata yang terus berkecamuk di tempat tinggalnya.

Ia mengatakan sempat berada di hutan selama dua hari dua malam, sampai akhirnya tinggal menumpang di rumah kerabatnya di Wamena, Kabupaten Jayawijaya.

Selama tiga bulan terakhir, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dia bergantung pada uluran tangan kerabatnya.

"Tidak ada apa-apa di noken, di tangan, tidak ada punya apa-apa. Tuhan yang kasih makan ke saya, menjamin saya. Tuhan yang kasih, jadi anak-anak yang menjamin makanan saya," tutur Angelina kepada BBC Indonesia, Rabu (31/7/2019).

Baca juga: Tokoh di Balik Konflik Nduga, Siapa Egianus Kogoya?

Suami Angelina, Sandra Kogoya, ikut mengungsi tiga pekan lalu bersama dengan beberapa kelompok pengungsi lain. Kini, mereka tersebar di beberapa lokasi.

"Tersebar di kota. Tujuh kelompok yang datang dengan saya itu ada yang tinggal di masyarakat yang tinggal di situ," ungkap Sandra.

Mereka termasuk bagian dari sekitar 2.000an warga Nduga yang kini mengungsi di Wamena.


Jumlah pengungsi 2.000-5.000

Para pengungsi Nduga yang menumpang tinggal di rumah kerabat di Wamena. dok BBC Indonesia Para pengungsi Nduga yang menumpang tinggal di rumah kerabat di Wamena.
Pendeta Esmond Walilo selaku koordinator Sinode Gereja Jayawijaya, menyebut sebagian besar pengungsi di Wamena menderita sejumlah penyakit karena lingkungan yang tidak bersih dan kurangnya asupan makanan bergizi.

Esmond menjelaskan, penyakit yang paling banyak ditemukan adalah infeksi saluran pernafasan atas, yang disebabkan akibat penggunaan kayu bakar di dalam rumah atau honai sehingga asap dari kayu itu terhirup ke paru-paru.

"Selain ISPA, ada penyakit anemia, diare, dan disentri. Ini bisa disebabkan karena beberapa hal, salah satunya kurangnya asupan makan yang bergizi," ujar Esmond.

Baca juga: Tanggapan Gubernur Papua soal Konflik Nduga dan Warga yang Mengungsi

Kementerian Sosial mencatat setidaknya ada 2.000 pengungsi yang tersebar di beberapa titik di Wamena, Lanijaya, dan Asmat. Di antara pengungsi ini, tercatat 53 orang dilaporkan meninggal.Angka ini jauh di bawah data yang dihimpun oleh Tim Solidaritas untuk Nduga, yang mencatat sedikitnya 5.000 warga Nduga kini mengungsi dan 139 di antara mereka meninggal dunia.

Data relawan menyebut pengungsi di Wamena tersebar di sekitar 40 titik. Kebanyakan dari mereka tinggal menumpang di rumah kerabat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com