Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kalimantan Calon Ibu Kota RI, Kesaksian Perempuan Penjelajah hingga Kalung Lilis Lamiang

Kompas.com - 31/07/2019, 06:06 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - “Kami menjumpai laut yang tidak lucu,” ungkap Ida Pfieffer dalam catatan perjalannya di Borneo pada Januari 1852.

“Dia mengirimkan ombak yang menyapu kami, sehingga separuh perahu terisi air.”

Ida, pelancong asal Austria, bersama seorang pemandu Melayu, meninggalkan Kuching menuju kawasan Iban dengan berperahu menyusuri Sungai Batang Lupar, Sarawak.

Setelah berjuang beberapa jam akhirnya mereka mendapatkan aliran sunga yang tenang.

Sembilan jam kemudian mereka sampai di tujuan pertama, sebuah benteng di Skrang.

Dilansir dari nationalgeographic.co.id, diceritakan Komandan Alan Lee menyambut kedatangan Ida dan pemandunya.

Baca juga: Opsi Ibu Kota Dipindah ke Kalimantan, Kalla Ingatkan Bahaya Lahan Gambut

Dalam catatan perjalanannya yang terbit di London pada 1855, Ida Laura Reyer Pfeiffer berkisah saat menginjak tanah Borneo pertama kali melihat benteng terbuat dari kayu dan berdinding pagar dari tanah.

Ada sekitar 30 orang pribumi yang menjadi serdadu.

Ida yang berkulit putih menjadi sosok aneh dan menjadi tontonan bagi warga pedalaman Borneo dan menjadi perempuan Eropa pertama yang menjelajahi pedalaman hutan Borneo, sekitar tiga dekade sebelum penjelajah asal Norwegia, Carl Bock.

Ia menceritakan pengalamannya di A Lady's Second Journey Round the World: From London to the Cape of Good Hope, Borneo, Java, Sumatra, Celebes, Ceram, the Moluccas, Etc., California, Panama, Peru, Ecuador, and the United States, Volume 1.

Baca juga: Jokowi Janji Umumkan Hal Penting soal Ibu Kota Baru pada Agustus

Hari berikutnya Ida mengunjungi perkampungan Dayak bersama Komandan Lee.

“Saya menjumpai pondokan besar, panjangnya sekitar 60 meter. Ada sejumlah barang tersebar melimpah di dalamnya,” ungkapnya.

“Saya berminat membelinya apabila ada diantara mereka yang menjualnya.”

Ida menyaksikan ragam barang: Kain katun, bahan-bahan dari kulit pohon, anyaman tikar, anyaman keranjang, hingga parang dan peralatan logam lainnya.

Ida berkisah tentang orang-orang Dayak pada masa itu—yang barangkali tak jauh berbeda dengan budaya mereka kini.

Leher dan dada para lelakinya berhiaskan manik-manik kaca, kerang, dan gigi beruang madu. Pergelangan lengan dan kaki berhiaskan gelang kuningan.

Baca juga: Jika Ibu Kota Pindah, Menpan RB Pastikan Jutaan ASN Pusat Ikut Pindah

Kuping mereka ditindik, dan kadang berhias selusin lebih gelang.

“Beberapa dari mereka mengenakan gelang yang bertatakan kerang putih yang bernilai lebih,” ungkapnya.

“Namun, perhiasan paling mewah adalah kalung dan gelang tangan dari gigi manusia.”

Namun, ungkap Ida, para perempuannya tampak lebih sederhana dalam perhiasan. Mereka tak beranting, tak bergigi beruang, dan sangat sedikit manik-manik.

Mereka mengenakan semacam semacam korset seukuran sejengkal tangan yang berhias ornamen kuningan dan cincin kelam.

“Saya mencoba mengangkat satu perhiasan itu, dan saya tak menduga bahwa beratnya sekitar empat kilogram.”

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com