Ia menarik perhatian ratusan wisudawan bukan karena karena ia membawa becak kebanggaan yang setia menemaninya selama bertahun- tahun hingga lulus kuliah.
Putra sulung dari 7 bersaudara pasangan Usman-Nursamiah ini dengan bangga mengayuh becak sejauh 6 kilometer dari rumahnya di dusun Tanjung Batu, Kelurahan Rangas, Kecamatan Banggae Timur, Majene ke lokasi wisuda sambil membawa ibunda tercintanya Nursamiah.
Duduk di samping ibunya, Hamzah membawa setumpuk buku bacaan ke tempat wisuda.
Meski ia bangga dan bersuka cita karena telah sukses menjadi sarjana dengan biaya dan tetesan keringatnya sendiri, ia tak pernah lupa menjadi inspirasi bagi lingkungan sekitarnya.
Buku-buku yang ia bawa ke tempat wisuda ia hamparkan agar bisa memancing minat warga di lokasi untuk membaca buku apa saja.
“Dulu saya mengayuh becak mencari rezeki dari lorong ke lorong memakai topeng. Sekarang saya tak malu lagi. Saya harus bangga membawa ibu saya dengan becak saya sendiri,” tutur Hamzah kepada Kompas.com, Rabu (21/11/2018).
Baca juga: Kisah Hamzah, 8 Tahun Kayuh Becak Pakai Topeng hingga Berhasil Jadi Sarjana
Sukmono terlihat bahagia dengan baju toga berfoto bersama dengan keluarganya di depan mobil unit reaksi cepat milik pemerintah Desa Singonjuruh, Kecamatan Singonjuruh, Banyuwangi, Jawa Timur.
Foto tersebut diambil setelah Sukmono mengikuti wisuda sarjana di Politeknik Negeri Jember, Sabtu (25/11/2017).
Kepada Kompas.com, Rabu (29/11/201), Sukmono mengaku sengaja meminjam mobil milik desa untuk mengajak keluarganya karena untuk menyewa mobil sendiri tidak ada biaya. Dia ingin keluarganya ikut menyaksikan saat dia diwisuda.
Awalnya dia ragu, tetapi tidak menyangka bahwa pihak desa memperbolehkannya meminjam mobil URC.
"Saya pikir boleh dipinjam hanya untuk ngantar orang sakit. Malah bensin ditanggung pihak desa dan yang nyopir sekretaris desanya sendiri," kata lelaki kelahiran Banyuwangi, 24 November 1994, itu.
Dia mengaku, selama kuliah di Jurusan Teknologi Pertanian Politeknik Negeri Jember, dirinya memanfaatkan beasiswa Bidik Misi dari pemerintah. Kondisi ayahnya yang sakit-sakitan dan tidak bisa berjalan serta ibunya yang sudah meninggal membuat Sukmono harus mandiri dan membiayai kuliahnya sendiri.
"Dibantu juga oleh keluarga. Makanya saya ajak bude dan kakak ke wisuda. Saya ingin mereka bangga," ucapnya.
Baca juga: Tak Punya Uang Sewa Kendaraan ke Wisuda, Mahasiswa Diantar Mobil Unit Reaksi Cepat
Lebih bangga lagi, Siti tidak malu ikut mendorong gerobak sate dari rumah ke kampus pada acara wisudanya, Sabtu (14/10/2017).
Siang itu, Jalal sengaja membawa gerobak satenya ke kampus, lalu membagi-bagikan sate lontong gratis kepada seluruh wisudawan maupun tamu undangan.
Ini sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan karena Siti berhasil menyelesaikan pendidikan D3 Ekonomi Akutansinya, dengan indeks prestasi komulatif (IPK) 3,87 alias cum laude.
"Ini syukuran kami. Saya bawa 100 porsi sate ayam, pakai gerobak yang biasa saya pakai jualan. Saya bagikan gratis pada wisudawan, tamu atau siapapun yang mau sate, saya ikhlas," kata Jalal.
Tidak hanya berprestasi, kata Jalal, Siti juga merupakan anak yang mandiri. Dia nyaris tidak pernah meminta uang untuk biaya kuliah kepada orangtua.
Gadis ini memiliki pendapatan sendiri dari pekerjaannya sebagai guru les privat anak-anak SD di lingkungannya.
"Semua biaya kuliahnya dia bayar sendiri. Tidak pernah minta orangtua. Sambil kuliah, anak saya juga membuka les privat untuk anak-anak SD," ujar warga Kampung Kedungsari RT 3, RW 4, Kecamatan Magelang Utara, Kota Magelang itu.
Baca juga: Anaknya Cum Laude, Tukang Sate Gratiskan Dagangannya di Arena Wisuda
Meski berlatar belakang keluarga kurang mampu, semangat pemuda berusia 23 tahun ini tidak surut untuk meraih impiannya.
Nyatanya, dengan bekerja sebagai penjual koran, dalam waktu 3 tahun Jusman berhasil lulus menjadi sarjana dengan predikat Cum Laude.
Dalam sebuah wawancara dengan Tribun Manado, Jusman menceritakan suka dukanya berjuang meraih impiannya menjadi seorang sarjana. Berasal dari keluarga petani yang sangat berkekurangan di Enrekang Sulsel.
Pendapatan orangtuanya hanya cukup untuk membeli makan sehari-hari. Sulit untuk membiayai pendidikan empat orang anaknya.
"Saya empat orang bersaudara bersamaan menjalani pendidikan. Bahkan untuk menghemat, kakak saya harus menganggur tiga tahun," katanya.
Di perantauan, alih-alih tinggal di sebuah kamar kos sewaan, Jusman dan sejumlah mahasiswa lainnya memilih tinggal di sebuah ruangan yang ada di kawasan kampus Unima.
Mereka tidak perlu membayar pakai uang, tapi dengan tenaga mereka untuk ikut bantu membersihkan lingkungan sekitar kampus.
Hal itu dilakukan Jusman untuk menghemat biaya hidupnya. Keterbatasan keluarga yang kesulitan mengirim biaya untuknya kuliah dan menjalani hidup di Tondano membuat Jusman berusaha hidup secukupnya.
Baca juga: Kisah Jusman, Penjual Koran yang Lulus Sarjana dengan Predikat Cum Laude
Susi, mahasiswi S-2 IPB, berhasil menyelesaikan kuliahnya dengan predikat cum laude. Gelar S-2 itu tidak ia peroleh dengan mudah dan main-main.