KOMPAS.com - Manusia tak kan tau kekuatan maksimalnya sampai ia berada dalam kondisi di mana ia dipaksa kuat untuk bisa bertahan.
Kutipan dari Merry Riana seorang motivator terkenal tersebut mewakili perjalanan Irza Laila Nur Trisna Winandi (21), mahasiswi dari Program Studi (Prodi) Pendidikan Teknik Informatika dan Komputer (PTIK) FKIP UNS angkatan 2015.
Gadis yang akrab dipanggil Icha meninggal dunia setelah tertabrak truk kontainer di Puskesmas Mojosongo, Boyolali, Kamis (25/7/2019).
Di hari yang sama, tepatnya Kamis siang, Icha seharusnya melangsungkan sidang skripsi di kampusnya.
Baca juga: Icha, Korban Tewas Tertabrak Truk jelang Skripsi, Tetap Raih Gelar Sarjana
Icha meninggal saat akan meminta izin kepada kepala Puskesmas Mojosongo agar ibunya bisa mengantarkannya ikut ujian skripsi
Mimpi Icha menjadi seorang sarjana diwujudkan oleh pihak kampusnya. Rektor UNS Solo, Prof Jamal Wiwoho mengatakan almarhumah Icha akan diwisuda pada 24 Agustus 2019.
Selain kisah Icha, ada 10 momen wisuda yang mengharukan yang berhasil dirangkum Kompas.com:
Rina Muharam, putri Bukhari meninggal dunia pada 5 Februari 2019 lalu usai mengikuti sidang skripsi.
Rina tak bisa mengikuti wisuda yang dia telah perjuangkan selama ini. Bukhari menggantikan putri sulungnya itu mengambil ijazah hasil perjuangan putri kesayangannya selama bertahun-tahun
Dr. Sri Suyanta, M.Ag, dosen pembimbing Rina Muharrami saat dihubungi Kompas.com, Jum’at (1/3/2019) mengatakan dalam kondisi sakit, Rina mampu menyelesaikan skripsi selama waktu 3 bulan.
“Rina mahasiswa bimbingan saya, alhamdulillah proses pembuatan skripsi mulai draf sampai dengan selesai perbaikan selama waktu tiga bulan, anaknya baik dan pintar,” kata Sri Suyanto.
Sri Suyanta mengaku baru mengetahui bahwa mahasiswi bimbingan skripsinya itu menderita sakit tipus, satu hari menjelang sidang skripsi yang telah ditentukan oleh fakultas.
Tepat hari Kamis (24/01/2019), sesuai dengan jadwal sidang yang telah ditentukan oleh pihak jurusan, ternyata Rina sudah duluan menunggu proses sidang di depan ruangan sejak pukul 11.00 WIB.
"Jadwal sidangnya mulai pukul 12.00 WIB, pukul 11.00 WIB, Rina sudah lebih awal menunggu di depan ruangan sidang, kemudian proses sidang berlangsung. Alhamdulillah, Rina selesai dengan hasil yang memuaskan,” sebutnya.
Rina sempat beberapa kali ditegur oleh dosen penguji karena pandangannya sering kosong. Akan tetapi, saat diajukan pertanyaan, dia mampu menjawab dengan baik dan benar.
“Karena tatapannya sering kosong, Rina sempat beberapa kali ditegur penguji, tapi saat ditanya dia mampu menjawab, setelah dia ikut sidang, Pukul 16.00 WIB, saya keluar. Saya lihat dia masih di depan ruangan menunggu kawannya yang lain selesai sidang," katanya.
Baca juga: Kisah Seorang Ayah di Aceh Hadiri Wisuda Gantikan Putrinya yang Meninggal
Ottidilia mengatakan sebelumnya ia sempat memutuskan tidak hadir. Namun karena bujukan ibunya, akhirnya ia memutuskan tetap datang ke upacara wisuda.
“Ibu saya mengatakan kalau perjuangan saya selama kuliah di ITS tidaklah mudah. Oleh karena itu, sayang jika saya tidak hadir pada puncak perjuangan saya ini,” ujar mahasiswi lulusan Departemen Desain Produk Industri (Despro) ITS itu seperti dikutip dari laman resmi ITS.
Kehadiran Otid ini mendapat diapresiasi Rektor ITS Prof Joni Hermana. Ia terharu lantaran meskipun dalam keadaan sakit, Ottidilia tetap menghadiri acara wisuda.
“Ini adalah contoh mahasiswa yang kuat dan tegar, jarang sekali ada anak muda yang sekuat ini,” tutur guru besar Teknik Lingkungan.
Baca juga: Dibujuk Sang Ibu, Mahasiswi Ini Tetap Hadiri Wisuda dengan Kursi Roda
Raeni yang datang dengan mengenakan kebaya dan kain lengkap dengan toga wisudanya tiba di lokasi wisuda dengan menggunakan becak.
Seperti ditulis dalam situs resmi Unnes, Raeni diantar oleh ayahnya, Mugiyono, yang memang sehari-hari berprofesi sebagai tukang becak.
Keberhasilan Raeni tentu saja tak lepas dari peran dan dukungan Mugiyono, ayahnya.
Dia mengaku terus mendukung putri bungsunya itu untuk berkuliah agar bisa menjadi guru sesuai dengan cita-citanya.
“Sebagai orang tua hanya bisa mendukung. Saya rela mengajukan pensiun dini dari perusahaan kayu lapis agar mendapatkan pesangon,” kata pria yang mulai menggenjot becak sejak 2010 itu setelah berhenti bekerja.
Setiap hari, Mugiyono kerap mangkal tak jauh dari rumahnya di Kelurahan Langenharjo, Kendal.
Dalam sehari, dia bisa mengumpulkan uang antara Rp 10.000 – Rp 50.000. Namun, penghasilannya kerap tak menentu. Oleh karena itu, dia juga bekerja sebagai penjaga malam sebuah sekolah dengan gaji Rp 450.000 per bulan.
Sementara itu, Rektor Unnes, Fathur Rokhman, mengatakan, sosok Raeni membuktikan bahwa tidak ada halangan bagi anak dari keluarga kurang mampu untuk bisa berkuliah dan berprestasi.
Baca juga: Wisudawati dengan IPK 3,96 Itu Diantar Ayahnya dengan Becak