Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengintip Kehidupan 2 Petani Kendal Setelah Mendapat Grasi dari Jokowi

Kompas.com - 25/07/2019, 07:00 WIB
Slamet Priyatin,
David Oliver Purba

Tim Redaksi

KENDAL, KOMPAS.com - Noor Azis dan Rusmin adalah dua petani dari Surokonto Wetan, Pageruyung, Kendal, Jawa Tengah, yang pernah menerima grasi dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Grasi itu dikeluarkan oleh Jokowi pada Senin (13/5/2019) dan diterima oleh Pengadilan Negeri Kendal pada Kamis (16/5/2019). Noor Azis dan Rusmin yang seharusnya divonis 8 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar akhirnya bebas pada Jumat (17/5/2019).

Noor Azis dan Rusmin dipenjara karena tindak pidana atas kasus bersama-sama menggunakan kawasan hutan secara tidak sah. Mereka berdua sudah menjalani hukuman penjara selama 2 tahun lebih 1,5 bulan.

Kompas.com mencoba berbincang dengan Noor Azis dan Rusmin tentang kehidupan mereka setelah menerima grasi dan bebas.

Baca juga: Kisah Herayati, Anak Pengayuh Becak Lulusan ITB Dilamar Jadi Dosen di Untirta

Saat Kompas.com mendatangi rumah Azis di Desa Surokonto Wetan, Pageruyung, Kendal, Selasa (16/7/2019), Azis baru selesai shalat dzuhur. Dengan ramah pria yang dikenal sebagai kiai kampung itu lalu bergegas mempersilakan untuk masuk.

Sambil mengisap rokok, Azis menceritakan kehidupanya setelah bebas.

Ia berujar, setelah keluar dari penjara dirinya seperti bayi yang baru lahir.

Pertama kali setelah dia dan Rusmin bebas, keduanya langsung menggelar syukuran. Beberapa tokoh yang datang dalam syukuran tersebut adalah tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama (NU), di antaranya putra kyai asal Rembang, Alm KH Cholil Bisri, Yahya Cholil Saquf atau Gus Yahya.

“Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada semua yang telah membantu saya keluar dari penjara. Presiden Joko Widodo, Gus Yahya, dan tokoh-tokoh NU yang lain serta masyarakat,” ujarnya.

Azis menyampaikan, banyak pelajaran yang ia dapatkan dari kasusnya itu. Selain pelajaran untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat desa, juga kesabaran.

Azis juga senang dengan warganya yang kini lebih mandiri. Tahu bagaimana memperjuangkan hak mereka.

“Selepas dari penjara, saya malah tidak pernah diajak rembugan. Masyarakat rapat sendiri, dan hasilnya kadang saya diberi tahu, kadang tidak,” ujarnya.

Walaupun demikian, Azis tidak merasa ditinggalkan oleh masyarakat. Ia mengaku sebaliknya. Sebab dulunya untuk rapat yang berkaitan dengan lahan pertanian atau lainnya, harus ada dirinya. Termasuk saat rapat untuk memutuskan harus menanam apa.

“Petani desa Surokonto Wetan sudah pintar-pintar. Ia dididik oleh situasi dan kondisi. Kalau dulu ada rasa takut dalam memperjuangkan hak-haknya, sekarang sudah tidak,” jelasnya.

Tetap berjuang meski pernah dipenjara

Tanah yang menjadi sengketa dengan Perhutani, yang membuat dirinya bersama Rusmin masuk penjara, luasnya sekitar 75 hektare. Tanah itu hingga kini masih digarap oleh petani Surokonto Wetan, meskipun status tanahnya milik Perhutani. 

Ada sekitar 400 orang yang menggarapnya. Tanah itu ditanami tanaman keras, di antaranya Singkong, jagung, dan lainnya. Azis tidak ikut menggarap tanah tersebut. Namun, jika panen tiba, ada petani yang memberinya bagian. Semua ia terima dengan rasa bahagia.

“Tugas kami sekarang memperjuangkan agar tanah yang digarap oleh petani itu menjadi hak milik penggarapnya,” tegasnya.

Baca juga: Kisah Dokter Gigi Romi, Gagal Jadi PNS karena Penyandang Disabilitas

Ia berharap apa yang diperjuangkan tersebut bisa membawa hasil yang terbaik. Ini agar petani Surokonto Wetan punya tanah sendiri dan digarap sendiri. Usahanya itu didukung penuh oleh istrinya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com