Jika sedang berada pada suhu rendah, basah atau angin yang kencang, sesama pendaki juga harus saling memperhatikan gejala hipotermia ke masing-masing rekan dan diri sendiri.
"Jika ujung-ujung tubuh, seperti tangan, kaki, telinga, dan hidung terasa beku, itu awal hipotermia. Bisa juga dalam lingkungan es salju sengatan beku atau frost bite. Hipotermia ini tidak terjadi tiba-tiba. Selalu ada gejala," kata Adi Seno.
Untuk menghindari hipotermia, menurut Adi Seno, sebaiknya pendaki menghindari cuaca ekstrem dengan berlindung di tenda dan mengenakan pakaian dan perlengkapan yang sesuai.
Selain itu asupan juga harus cukup sekitar 2.000 hingga 4.000 kalori.
Pendaki juga bisa bergerak karena akan menghasilkan panas yang tersimpan dalam pakaian pelindung yang memadai, seperti jaket dan sarung tangan.
Baca juga: Jokowi Minum Jamu,Ramuan Klasik Pengobatan Sejak Zaman Nenek Moyang....
"Jika bergerak harus tahu arah dan tujuannya serta ada perlindungan. Saat bergerak memang cadangan energi tersalurkan, tapi bisa ditambah dengan konsumsi snack. Bergerak ini juga untuk mempercepat ke tempat terlindung," ungkapnya.
Adi Seno menjelaskan jika terjadi badai di ketingian lebih dari 5.000 meter dengan kecepatan angin mencapai 100 km per jam, satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri adalah berlindung hingga badai reda.
Sementara itu, Sudiyono berharap agar di Gunung Rinjani ada bungker, yaitu tempat yang permanen untuk petugas.
Bungker tersebut memiliki dua sisi permanen dari tembok sehingga bisa untuk menyalakan perapian agar udara di sekitar hangat jika terjadi kasus hipotermia di Gunung Rinjani.
"Fungsi bungker ini salah satunya untuk mengatasi hipotermia, itu lebih tertutup," kata Sudiyono.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.