Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Banyumas, Siswa MTs Ini Bisa Bayar Sekolah Pakai Ketela dan Pisang

Kompas.com - 24/07/2019, 06:55 WIB
Fadlan Mukhtar Zain,
Khairina

Tim Redaksi

 

BANYUMAS, KOMPAS.com - Dari arah Telaga Kumpe, Gununglurah, Banyumas, di pinggir hutan kaki Gunung Slamet, David (15) berjalan di antara semak menuju kerumunan anak-anak. Di tangan kirinya tampak menenteng kantong plastik warna hitam.

"Ngarah welut nggo digoreng (mencari belut untuk digoreng)," kata David sambil menunjukkan isi kantong plastik kepada rekan-rekannya yang tengah berkumpul di area ladang.

David lantas membaur dengan rekan seusianya yang tengah sibuk membersihkan rumput dan tanaman liar di area ladang, dekat sekolahnya.

Baca juga: Sekolah Disegel, Ratusan Siswa SD di Bengkulu Belajar di Jalan

Tanpa seragam, tanpa sepatu, setiap hari siswa Madrasah Tsanawiyah (MTs) Pakis, Dusun Pesawahan, Desa Gununglurah, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah tersebut mengisi kegiatan belajar.

Selain menjalani aktivitas formal di dalam kelas, mereka juga akrab dengan kegiatan di alam sekitar. Area tepi hutan di kaki Gunung Slamet tersebut merupakan wahana belajar tanpa batas bagi anak-anak.

Salah satu relawan MTs Pakis Ahmad Munaji (22) mengatakan, konsep pembelajaran yang diterapkan berbeda dengan sekolah formal pada umumnya. Anak-anak dibebaskan untuk memilih belajar di dalam kelas atau luar kelas.

"Anak-anak belajarnya beda dengan sekolah formal, tapi belajar dengan alam sekitar. Di awal pembelajaran disepakati dengan anak-anak, mau di kelas atau di luar," kata Aji, sapaannya, Senin (22/7/2019).

Mereka diajarkan bercocok tanam berbagai tanaman, termasuk sayur-mayur, juga beternak. Hasil panen atau hasil ternak dapat dimanfaatkan secara langsung oleh anak-anak.

Menurut Aji, sesuai tujuan awal pengelolanya, Isrodin, sekolah yang berdiri tahun 2014 ini untuk membantu masyarakat sekitar hutan. Kebanyakan, selepas lulus SD anak-anak jadi pengangguran, bahkan tidak jarang yang akhirnya menikah muda.

"Masyarakat sekitar kebanyakan petani, Kang Is (sapaan Isrodin) ingin anak-anak tetap sekolah, tanpa membebani orang tua. Kebanyakan terkendala ekonomi, padahal semangat belajar mereka sangat tinggi," ujar Aji.

Baca juga: Miris,19 Siswa SMK Ini Gagal Kuliah karena Ditelantarkan Sekolah

Untuk itu, pengelola tidak memungut biaya sepeser pun bagi siswanya. Para wali murid hanya cukup membayar biaya sekolah selama tiga tahun dengan menggunakan hasil bumi, seadanya seperti ketela, pisang, sesuai yang mereka miliki.

"Kami tidak memaksa membayar dengan uang, apapun yang dimiliki bisa dibawa ke sini untuk dinikmati bersama-sama. 'Bayarnya' hanya waktu awal masuk saja, selanjutnya bercocok tanam, hasilnya dinikmati bersama," kata Aji.

Lantas bagaimana sistem penilaian anak didiknya? Menurut Aji sama dengan sekolah formal, mereka mendapatkan raport setiap semester. Untuk ujian, mereka menginduk ke sekolah swasta di desa tetangga.

Saat ini sekolah yang berjarak lebih dari 20 kilometer arah barat daya pusat Ibu Kota Kabupaten, Purwokerto ini, memiliki 24 siswa. Masing-masing empat murid kelas VII, 12 siswa kelas VIII dan 8 siswa kelas IX.

Diana Afianti (15), siswi kelas IX mengatakan, mereka belajar secara mandiri sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com