Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Penghuni Panti Asuhan yang Kini Jadi Direktur Utama

Kompas.com - 21/07/2019, 07:00 WIB
Slamet Priyatin,
Abba Gabrillin

Tim Redaksi

KENDAL, KOMPAS.com - Nasib memang Tuhan yang menentukan, tetapi manusia harus berusaha supaya apa yang dicita-citakan bisa terwujud. Kata-kata itu selalu dijadikan pegangan oleh Akhmad Mundholin, penghuni panti asuhan yang kini menjadi Direktur Utama Bank Perkreditan Rakyat Badan Kredit Kecamatan (BPR BKK) Kendal, Jawa Tengah. 

Mundholin mengatakan, apa yang dicapai saat ini tidak mudah. Selain membutuhkan perjuangan dan kesabaran, perlu juga untuk banyak berdoa kepada Tuhan.

Bapak tiga anak yang kini tinggal di Desa Pidodo Kulon, Patebon, Kendal, ini menceritakan bahwa masa kecilnya sangat sulit dilalui. Sewaktu umur 2 tahun, ia sudah harus menjadi anak yatim. Sebab, ayahnya meninggal dunia.

Saat itu, kehidupan ekonomi keluarganya benar-benar memprihatinkan. Bahkan, untuk makan saja, menurut Mundholin, keluarganya kadang masih bergantung dari bantuan tetangga yang dermawan. 

"Hidup kami sangat susah," kata Mundholin sambil meneteskan air mata saat ditemui, Sabtu (20/7/2019).

Mundholin menuturkan, untuk menghidupi 8 orang anak, ibunya bekerja sebagai penarik karcis pedagang pasar. Lantaran gajinya tidak cukup untuk menghidupi 8 anaknya itu, ibunya mencari pendapatan tambahan dengan bekerja sebagai tukang sapu di Pasar Pidodo Kulon.

Selepas menamatkan sekolah dasar, anak ketujuh dari 8 bersaudara tersebut dilanda kebingungan. Sebab, ia ingin melanjutkan sekolahnya ke tingkat sekolah menengah pertama (SMP).

Namun, ia sadar bahwa untuk melanjutkan sekolah ke SMP, ibunya sudah tidak memiliki biaya. 

Jadi anak panti

Suatu saat, ada tetangganya yang menawari Mundholin untuk masuk ke panti asuhan. Hal itu dilakukan agar dirinya bisa melanjutkan ke SMP dan sekolah menengah atas (SMA). Tawaran tersebut langsung diterima.

"Tetangga saya itu pengurus panti asuhan," jelasnya.

Sejak itu, ia harus hidup di panti asuhan dan pisah dengan keluarga. Segalanya dilakukan supaya Mundholin bisa sekolah.  

Mundholin mengatakan, di panti asuhan dirinya dididik mandiri. Ia harus mulai mencuci baju sendiri, merapikan kamar, bersih-bersih, menyapu, mengepel hingga memasak sendiri.

Mundholin sangat senang karena akhirnya bisa masuk SMP, meskipun jarak sekolah dengan panti asuhan sekitar 7 kilometer. Ia harus berjalan kaki ketika berangkat dan pulang sekolah.

"Kadang bonceng teman yang memakai sepeda onthel. Kalau tidak ada boncengan ya terpaksa jalan kaki," kata Mundholin.

Baca juga: Cerita Adilta, Merintis Usaha di Balik Musik Cadas Kota Medan

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com