Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dipotong Pajak hingga 68 Persen, 108 Dosen UGM Ajukan Mosi Tidak Percaya

Kompas.com - 17/07/2019, 06:13 WIB
Wijaya Kusuma,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Sebanyak 108 dosen dari berbagai fakultas di Universitas Gadjah Mada (UGM) menyatakan mosi tidak percaya kepada Wakil Rektor Bidang Perencanaan Keuangan dan Sistem Informasi, serta Direktur Keuangan.

Mosi tidak percaya ini karena algoritma pemotongan pajak penghasilan yang dinilai tidak transparan dan kurangnya sosialiasi pemotongan pajak.

Dekan Fakultas Hukum UGM Sigit Riyanto mengatakan, UGM sebagai lembaga institusi yang diberi mandat oleh peraturan perpajakan membuat kebijakan sistem pemotongan perpajakan.

"Informasi-informasi tentang kebijakan maupun instrumen pendukung yang menjadi dasar dalam proses pemotongan pajak itu menimbulkan keresahan bagi para dosen," ujar Sigit Riyanto saat dihubungi Kompas.com, Selasa (16/07/2019).

Baca juga: UGM Kembangkan Drone Amfibi Untuk Pengawasan dan Mitigasi Bencana

Pada Maret 2019, 108 dosen menyatakan dalam surat mosi tidak percaya. Surat mosi tidak percaya ini dikirimkan kepada Rektor UGM dan Majelis Wali Amanat UGM.

Sigit mengungkapkan, para dosen ingin membayar kewajibannya sebagai wajib pajak sesuai dengan peraturan yang ada. Namun, sistem pemotongan tidak sesuai peraturan.

Dipotong pajak hingga 68 persen

Keresahan selanjutnya, yakni tidak jelasnya dan tidak transparannya algoritma pemotongan pajak.

Sigit mencontohkan, antara bulan Januari dan Mei, penghasilan dosen tidak dipotong pajak besar. Namun pada Juni, gaji langsung dipotong pajak sangat tinggi.

"Pemotongan pajak ada yang 68 persen dan lain-lain. Ini kan tadi, kebijakan tidak sesuai dengan peraturan," ucapnya. 

Baca juga: UGM Menerima 3.131 Mahasiswa dari Jalur SBMPTN, Saintek Lebih Diminati

Ia menyebutkan, ada klasifikasi pemotongan pajak penghasilan, mulai 5 persen, 15 persen, hingga 30 persen sesuai dengan penghasilannya.

Persentase pemotongan itu dihitung berdasarkan penghasilan satu tahun. Sehingga, ketika seorang dosen mendapatkan penghasilan, tidak lantas dipotong saat itu juga.

Selain itu tidak ada sosialisasi terkait sistem pemotongan pajak. Sistem pemotongan pajak yang tidak transparan ini menimbulkan keresahan di kalangan para dosen.

"Para dosen itu selama sesuai dengan peraturan, ada sosialisasi. Saya kira tidak ada masalah," tegasnya.

Lapor ke Ombudsman

Para dosen UGM juga melapor ke Ombudman RI perwakilan DIY terkait keresahan yang dirasakan.

Mendapat laporan, Ombudsman lantas menindaklanjuti dengan datang ke Universitas Gadjah Mada (UGM) pada Senin (15/7/2019).

Koordinator Bidang Pemeriksaan Verifikasi Laporan Ombudsman Perwakilan DIY, Jaka Susila Wahyuana menuturkan, para dosen melaporkan terkait dengan klasifikasi pajak.

Selain itu tentang akumulasi pemotongan pajak yang dianggap besar.

"Kami sudah meminta klarifikasi langsung dari UGM. Sudah dijelaskan juga oleh tim keuangan UGM," ucapnya. 

Baca juga: Kisah Buruh Bangunan Berhasil Kuliahkan Anak di Teknik Nuklir UGM

Tim keuangan UGM lanjutnya, memberikan penjelasan jika permasalahan ini sudah diselesaikan mulai awal tahun 2019. 

Misalnya terkait honor penelitian, mengajar dan bimbingan yang dulunya diklasifikasikan sebagai pemotongan pajak teratur kemudian sudah diganti tidak teratur. Sebab honor penelitian, mengajar dan bimbingan tidak setiap bulan.

"Terkait perjalanan dinas juga sudah diselesaikan. Jadi disampaikan kalau permasalahan itu sudah diselesaikan oleh tim keuangan UGM," tuturnya.

Meski telah mendapatkan penjelasan terkait permasalahan potongan pajak penghasilan. Namun Ombudsman RI perwakilan DIY belum bisa mengambil kesimpulan. Pihaknya masih akan melihat regulasi pemotongan pajak.

Klarifikasi Direktur Keuangan UGM

Direktur Keuangan UGM Syaiful Ali menuturkan Ombudsman RI Perwakilan DIY datang untuk meminta klarifikasi beberapa poin, seperti pemotongan honor mengajar, klasifikasi honor, dan komponen biaya perjalanan dinas.

"Beberapa poin yang ditanyakan itu di akhir 2019 sudah clear, sebenarnya sudah tidak lagi menjadi masalah. Semoga tidak menjadi masalah lagi di masa depan," tandasnya.

Syaiful Ali mengungkapkan, isu dasar masalah pajak ini adalah status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) UGM sebagai subyek pajak.

"Jadi yang dilaporkan oleh Ombudsman dan kami diskusikan itu lebih masalah teknis," kata Syaiful Ali. 

Baca juga: 4 Mahasiswa UGM Ciptakan Alat Penepis Embun Upas untuk Minimalisasi Kerugian Petani

Implikasi dari subjek pajak badan itu adalah atas penghasilan yang diberikan oleh UGM kepada karyawan atau staf akan dikenakan pajak yang sifatnya progresif.

Ia mencontohkan, penghasilan seseorang ditotal dalam setahun lalu akan dihitung.

Penghasilan itu akan dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), lalu dikurangi biaya-biaya yang lain dan sisanya itu adalah obyek pajak.

Maksimal pajak tertinggi 30 persen, sehingga tidak ada pajak hingga 60 persen.

"Jadi penghasilan dia setelah PTKP katakanlah Rp 400 juta, Rp 200 juta pertama kena 15 persen, sisanya kena lagi 20 persen,  sisanya 30 persen, ya itulah progresif," ungkapnya. 

Baca juga: Lepas KKN UGM, Susi Pudjiastuti Minta Mahasiswa Mengedukasi Nelayan untuk Menjaga Laut

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com